Belajar Dari Sejarah
Perang Hittin adalah salah satu perang yang besar dan sangat menentukan sepanjang sejarah kaum muslimin. Nama Shalahuddin Al Ayyubi berkibar-kibar karena berhasil memimpin perang yang luar biasa ini. Perang yang terjadi bulan Ramadan tahun 584 H/1187 M, berhasil memukul mundur Tentara Salib dari Kerajaan Yerusalem.
Kemenangan itu tentu bukan hanya milik Shalahuddin Al Ayyubi, tapi milik para prajuritnya yang hebat, dan juga milik kaum muslimin yang memberikan dukungan yang besar pada saat itu.
Shalahuddin Al Ayyubi berangkat bersama 25.000 prajurit terbaik, 13.000 orang pasukan berkuda, 12.000 pasukan perjalanan kaki. Menghadapi koalisi pasukan musuh yang berjumlah 60.000 orang. Pasukan-pasukan yang hebat itu berhasil memporakporandakan musuh, lalu mengambil Al Quds dari tangan-tangan para salibis.
Shalahuddin pasti tak akan mampu menghadapi pasukan salibis sendiri. Kehadiran 25.000 orang yang menjadi pasukannya itu menjadi penentu utama kemenangan.
Namun tahukah kita, dari masa asalnya 25.000 orang pasukan terbaik itu? Siapakah mereka dan mengapa mereka menjadi sangat tangguh di medan perang?
Dan mengapa kaum muslimin bersatu memberikan dukungan yang sangat besar kepada perjuangan pasukan Shalahuddin Al Ayyubi?
Dr. Majid Arsan Al Kailani telah mengkaji hal ini dengan dalam dan ilmiah dalam bukunya “Hakadza Zhahara Jaisyu Shalahiddn wa Hakadza Taharraral Quds” Demikianlah munculnya pasukan Shalahuddin dan demikianlah Al Quds dimerdekakan.
Dr. Majid Al Kailani menyatakan bahwa kaum muslimin terkondisikan untuk berjihad pada saat itu berkat peran para ulama yang menggelorakan jihad.
Pasukan tempur Shalahuddin Al Ayyubi adalah para santri hasil didikan dari pesantren Imam Al Ghazali dan pesantren Imam Abdul Qadir Al Jailani. Proses pendidikan yang dilakukan melalui ceramah maupun tulisan-tulisan, berhasil memberikan pemahaman yang baik tentang aqidah, fiqih, dan praktek dan tradisi keberagaman di kalangan masyarakat.
Di samping itu, kecintaaan kepada Allah dan hari akhir semakin dikristalkan. Semangat beribadah dikuatkan. Semangat jihad dikobarkan. Mereka berangkat jihad dengan keimanan yang kuat di dalam jiwa. Hingga akhirnya kemenangan berhasil mereka dapatkan.
Apa yang dilakukan oleh kedua imam tersebut di bidang pendidikan, tidak kalah penting dari apa yang dilakukan oleh Shalahuddin Al Ayyubi di medan perang. Bahkan itulah yang menjadi sebab utama kemenangan.
Dalam sejarah kehidupan bangsa, kita pun bisa betapa besar perjuangan kaum santri dalam membela NKRI dan menjaga konstitusi. Sejarah telah menunjukkan bahwa negeri ini dibangun di atas tetesan darah para santri dan ulama. Sebuah komunitas pemberani, perwira, dan ikhlas. Kelompok yang tak berharap pamrih kecuali ridha ilahi. Sebuah komunitas yang menggariskan hidupnya dalam dua kalimat; Hidup Mulia atau Mati Syahid.
Dalam khazanah perjuangan kita, ada Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Tuanku Imam Bonjol, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zainal Mustofa, dan para ulama lainnya yang bersama para santrinya langsung turun ke gelanggang perjuangan bersimbah peluh dan darah untuk membela bangsa.
Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang digagas oleh KH. Hasyim Asy’ari dan puluhan kiai se-Jawa dan Madura, terbukti telah menggelorakan perjuangan rakyat di Surabaya melawan Inggris. Dalam tempo singkat, seruan ini menyebar ke penjuru Surabaya dan kota-kota lainnya. Puluhan ribu kiai dan santri berperang melawan sekutu yang baru saja memenangkan perang dunia kedua. 15.000 tentara sekutu dengan persenjataan canggih tak mampu menghadapi pasukan perlawanan kiai dan santri. Bahkan, Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby tewas di tengah laskar santri.
Semangat iman itulah yang juga mendasari rasa kecintaan yang besar kepada bangsa dan negara ini. Umat Islam telah membuktikan rasa kepemilikan mereka yang sangat besar kepada NKRI.
Internasionalisasi Nilai Pesantren
Pondok pesantren di tanah air sesungguhnya memiliki modal yang cukup kuat untuk mengembangkan pendidikan Internasional. Aspek kesejarahan dan nilai-nilai yang universal menjadi modal sosial yang sangat potensial untuk mencapai hal itu dan telah dibuktikan dalam sejarah panjang negeri kita.
Dari sisi sejarah, pondok pesantren sejak berabad-abad lalu sudah memainkan peran yang cukup signifikan dalam dunia Internasional. Misalnya, pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas ulama nusantara menjadi mata rantai penting dalam jaringan keilmuan Internasional. Bahkan banyak di antara para ulama Indonesia berhasil mencapai posisi sosial keagamaan terhormat dengan menjadi pengajar di halaqah-halaqah di Masjidil Haram yang saat itu menjadi salah satu pusat intelektual Islam di dunia.
Hingga saat ini, kiprah ulama Indonesia di kancah Internasional memiliki posisi yang penting, baik melalui seminar, konferensi internsional, simposium dan lain sebagai. Tidak jarang para ulama kita diminta untuk menjadi pimpinannya. Salah satu contohnya adalah Dr. Salim Segaf Al Jufri yang baru-baru ini terpilih menjadi wakil ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional.
Secara kapasitas lulusan, para alumni pesantren mampu bersaing dengan sejumlah lulusan dari pondok pesantren lainnya di seluruh dunia. Mereka mampu tampil sebagai pelajar berprestasi di sejumlah universitas seperti Uni versitas al- Azhar Mesir, Universitas az-Zaitunah Tunis, Universitas Islam Madinah, Universitas Ummul Qura Mekkah, Universitas Al-Ahqaf Yaman, Universitas Muítah Yordania, Mohammed V University Rabat. Tidak sekedar mendaftarkan alumni, sebagian pondok pesantren sudah memiliki ikatan kerja sama dengan universitas-universitas tersebut.
Artinya, secara kapasitas keilmuan, akhlak, dan nilai-nilai universal, para ulama-ulama Indonesia setara dengan para ulama lainnya dari berbagai penjuru dunia. Kualitas alumninya juga bisa dibanggakan dan mampu tampil di kancah internasional.
Nilai universal islam yang diajarkan di pesantren menjadi bagian penting kehidupan seorang manusia. Ajaran tentang aqidah, ibadah, tasawuf, tazkiyah, dan suluk, adalah kebutuhan jiwa manusia yang disediakan dengan melimpah dalam kurikulum pendidikan pesantren.
Komunikasi dan Transformasi Nilai
Dalam pendidikan bangsa Indonesia, masalah terbesar yang dihadapi adalah kemampuan mengkomunikasikan dan mentransformasikan nilai-nilai itu secara lebih luas dengan bahasa yang dapat dipahami. Untuk saat ini, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris masih menjadi bahasa komunikasi internasional yang digunakan di seluruh dunia. Kemampuan dalam menggunakan kedua bahasa itu menjadi syarat penting dalam proses internasionalisasi pendidikan pesantren.
Tapi lebih daripada itu, visi dan misi lembaga pendidikan yang bersangkutan jauh lebih penting. Yaitu seberapa besar obsesi dan harapan sebuah lembaga untuk mengembangkan pendidikannya, dan kesiapan untuk menerima orang lain, dalam hal orang-orang dari luar negeri, untuk belajar di lembaga tersebut. Kesiapan ini terkait dengan standar mutu pendidikan, kurikulum, sumber daya guru, dan juga fasilitas.
Tidak lupa kesiapan psikologis warga pesantren untuk menerima kehadiran orang asing. Pada kenyataannya, perbedaan tradisi, budaya, bahasa, dan pola interaksi sosial, membuat sebagian kalangan tidak mudah menerima kehadiran orang asing, dan mereka pun tidak betah.
Beberapa pesantren di Indonesia sejak lama sudah bisa menyelesaikan masalah masalah tersebut dan mampu melewati sekat sekat psikologis. Mereka sudah membuka kesempatan belajar kepada warga mancanegara, seperti Pondok Modern Darussalam Gontor, Pesantren Internasional Mas Mansur UMS, Pondok Modern Tazakka Batang Jawa Tengah, IMBS (International Muhammadiyah Boarding School) Miftahul Ulum Pekajangan Pekalongan.
Maka untuk muwujudkan pendidikan pesantren yang luas dan memiliki standar mutu internasional, visi dan misi pesantren yang jelas dan cerdas sekaligus berorientasi kepada kemajuan peradaban keumatan dan kebangsaan harus semakin diperkuat, baik di kalangan guru, santri, wali santri, maupun civitas keluarga besar pesantren. Manajemen dan kepemimpinan pesantren perlu dibenahi agar bisa memenuhi standar kualitas internasional. Pengembangan kerja sama, kemitraan strategis, dan jaringan pesantren dengan berbagai instansi di dalam dan luar negeri akan dapat terjalin dengan baik, jika internasionalisasi pesantren menjadi spirit pengembangan pesantren.
Internasionalisasi pesantren juga merupakan satu langkah strategis peran ulama muslim dalam dunia internasional. Sudah saatnya, warga dunia yang datang ke Indonesia bukan hanya untuk berbisnis dan berwisata, melainkan juga menjadi santri dan belajar Islam moderat yang berkemajuan.
Keberhasilan menginternasionalisasi nilai pesantren akan menjadi titik tolak yang penting, dalam usaha melahirkan generasi muslim yang akan membawa kejayaaan Islam.