Untuk saat ini, saya lagi senang membaca tulisan-tulisan Syekh Ali Ath-Thanthawi. Seorang ulama dari Suriah yang terkenal dengan Adibul Fuqaha Faqihul Udaba’; Sastrawannya para ahli fiqih dan Ahli fiqihnya para sastrawan.
Beliau terkenal dengan tulisan-tulisannya yang bernas, bermutu tinggi, mengalir dengan indah, dengan bahasa yang memukau, dan cakupan pembahasan yang luas dan dalam.
Banyak bukunya yang sudah terbit, diantaranya: dzikriyyat syekh thanthawi, haditsnnafsi, rawa’i, dan lainnya. Buku-buku beliau menjadi penyejuk jiwa dan teman terbaik kapan saja.
Yang paling menarik hati saya adalah tulisan tahun di atas setiap tulisan. Ada yang ditulis tahun 1935, 1936, 1940, dan seterusnya.
Saat membuat tulisan itu, beliau pasti tidak tau bahwa tulisan-tulisan itu akan sampai ke klaten-jawa tengah, memberikan pencerahan dan manfaat, minimal untuk saya pribadi.
Puluhan tahun jarak dari tulisan itu dibuat sampai akhirnya bisa saya baca saat ini, mengisyaratkan ada kebaikan yang tidak pernah putus untuk sang penulis.

Penghalang Utama
Saya mengevaluasi, penghalang utama saya dalam menulis adalah cinta pujian dan rindu perhatian.
Bisikan supaya terlihat cerdas dan keren, itulah yang membuat berat mengetikkan kata, dan sering menekan backspace berkali-kali untuk menghapus bagian yang terlihat kurang keren.
Setelah menulis, disebar ke semua media sosial. Mengharap like, share, subscribe, dan komen. Lalu akhirnya berakhir kecewa, karena yang diharapkan tidak kunjung tiba.
Padahal kalau saja jari-jari ini saya biarkan los untuk mengetikkan isi hati dan pikiran, sekedar meluapkan kegembiraan, kesedihan, emosi, pandangan, dan pemikiran, tentulah lebih membahagiakan.
Lagi pula, mengapa saya harus pusing-pusing menulis berharap pujian dan penghormatan, di saat musuh-musuh Islam menulis untuk menyerang Al Quran dan menghancurkan Islam?
Serangan Kasar
Misalnya, seperti disebutkan Ust. Adnin Armas dalam buku Metodologi Bibel dalam Studi Al Qur’an (2005), Peter Venerabilis (Peter the Venerable) (1094-1156), tokoh Kristen dari Biara Cluny, Peancis, menyebut Al Qur’an tidak terlepas dari para setan.
Setan telah mempersiapkan Muhammad, orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab setan (diabolical scripture).
Ricoldo da Monte Croce (1243-1320) juga menyebut bahwa pengarang Al Qur’an bukanlah manusia tetapi setan. Dengan kejahatannya serta izin Tuhan, Muhammad telah berhasil memulai karya AntiKristus.
Martin Luther, (1483-1546), juga menulis, “The devil is the ultimate author of the Quran.” Luther
menyebut Paus dan orang-orang Muslim sebagai jelmaan setan.
Al Qur’an, kata Luther, mengajarkan karya Ricoldo (Confutatio Alcorani) ke dalam bahasa Jerman,1542). Luther tidak percaya ada manusia yang mau mempercayai ketololan dan ketakhayulan Al Qur’an.
Serangan Halus
Cara-cara kasar dalam menyerang al-Quran seperti itu kemudian disadari tidak banyak membawa
hasil. Umat Islam tidak tergoyahkan keyakinannya terhadap kebenaran dan keotentikan Al Qur’an.
Sejak abad ke-19, mulai muncul bentuk baru dalam penyerangan Al Qur’an. Caranya lebih halus dan berbungkus metode ilmiah (scientific method).
Salah satu pelopor dalam studi ini adalah Abraham Geiger, seorang tokoh Yahudi liberal. Ia menulis buku What did Muhammad borrow from Judaism (Apa yang Muhammad pinjam dari Yahudi).
Kata Geiger, “Banyak kata dalam Al Qur’an berasal dari bahasa Hebrew (Ibrani). Karena itu, Al Qur’an terpengaruh agama Yahudi.”
Dengan semangat untuk membuktikan ketidakotentikan Al Qur’an, Gustav Flügel menerbitkan sebuah mushhâf tandingan’ sebagai hasil kajian filologi yang dilakukannya. Mushhâf’ itu kemudian dinamakan Corani Textus Arabicus.
Kemudian datanglah Arthur Jeffery, seorang orientalis berkebangsaan Australia yang meneruskan usaha Bergsträsser dan Pretzl. Jeffery bertekad merestorasi teks Al Qur’an berdasarkan bacaan-bacaan dalam beberapa mushhâf tandingan’ (rival codices). Hanya saja, proyek Jeffery terpaksa dihentikan karena perpustakaannya dibom oleh pasukan Sekutu pada Perang Dunia II.
Christoph Luxenberg. Dalam bukunya, Luxenberg mengklaim bahwa: (1) bahasa Al Qur’an sebenarnya
bukan bahasa Arab, dan karenanya harus merujuk pada bahasa SyroAramaik yang konon menjadi lingua franca pada masa itu, (2) selain bahasanya, ajaran dalam Al Qur’an pun diambil dari kitab suci
Yahudi dan Kristen-Syria, (3) karenanya, Al Qur’an yang ada sekarang tidaklah otentik dan perlu diedit
kembali.
Akar Masalah
Tuduhan para orientalis ini, seperti dipaparkan oleh Uda Akmal Sjafril dalam Jurnal Islamia 23 September 2010, semuanya bersumber dari ketidakyakinan mereka akan Al Qur’an, karena menerima Al Qur’an sama dengan menolak agamanya sendiri.
Selain kerap berpegang pada su-isu sampingan (yang sebenarnya telah dipecahkan oleh para ulama), kaum orientalis juga telah melakukan kesalahan dengan menganggap Al Qur’an sebagai dokumen
tertulis atau teks, dan bukannya sebagai hafalan yang dibaca.
Oleh karena itu, mereka seringkali menganggap bahwa catatan-catatan pinggir yang dibuat oleh para sahabat Rasulullah saw. dalam arsip arsip pribadinya sebagai teks-teks tandingan.
Padahal, Al Qur’an dibukukan dengan mengacu pada hafalan, bukan sebaliknya. Mushhâf ‘Utsmani adalah mushhâf standar yang dibuat untuk memfasilitasi semua qira’at yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi Muhammad saw.
Jawaban Hoaks
Di tengah semburan hoaks menjelang pilpres, masihkah saya menulis hanya untuk mencari cari perhatian dan pujian?
Dan di tengah waktu hidup yang semakin habis, masihkah menulis hanya untuk mencari perhatian?
Kenapa saya tidak menuliskan saja apa adanya sesuai kenyataan di lapangan, untuk sekedar menjawab kesalahan dan memberi pemahaman yang benar?
Hoaks-hoaks terkait pujian dan perhatian itu banyak menyita waktu dan pikiran. Hanya bahasa cinta kebenaran dan ketulusan yang mampu memberikan jawaban yang menenangkan.
Belantara Kehidupan

Tulisan-tulisan kuno dan lawas itu, baik yang ditulis oleh Syekh Ali Tantawi untuk menunjukkan keindahan Islam, maupun yang ditulis oleh para orientalis untuk menyerang Al Qur’an, berpuluh tahun lalu, sampai kini masih menjadi rujukan.
Jejak digital itu masih ada dan bisa terus dibaca.
Saya tidak tau sampai di belantara mana tulisan saya akan tiba, dan berapa waktu yang diperlukan untuk sampai ke sana. Tugas saya adalah menulis.
Sekedar menuangkan apa yang beredar di alam hati dan pikiran dengan penuh kegembiraan.
Manfaatnya pun mungkin bukan sekarang. Tapi jauh di masa depan, setelah saya berkalang tanah.
Ayo Menulis…!