Dalam kehidupan bermasyarakat, kata Imam Al Ghazali, ada empat bentuk akfititas yang utama dan vital: Yaitu Az Zira’ah (Pertanian) untuk memenuhi keperluan bahan pokok makanan, Al Hiyakah (Tekxtil) untuk memenuhi kebutuhan pakaian, Al Bina’ (Arsitektur) untuk memenuhi keperluan rancang bangun tempat tinggal, dan As Siyasah (manajemen dan pengelolaan semua sumber daya yang ada).
Dari keempat hal itu, As Siyasah adalah yang paling utama, sebab kegiatannya adalah mengelola semua sumber daya, mendistribusikan manfaat, dan mengawal semua berjalan dengan baik.
Inilah makna hadits Rasulullah:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi meninggal maka akan digantikan oleh Nabi yang lain sesudahnya”
Saat ini secara umum telah terjadi pergesaran makna itu.
Dari awalnya Siyasah bermakna memperbaiki dan mengarahkan manusia kepada kebaikan, menjadi politik dan perjuangan kepentingan.
Dari sinilah pentingnya mengembalikan politik ke makna dasarnya yaitu memperbaiki dan mengarahkan manusia kepada kebaikan. Itulah tugas pemimpin yang sejati.
Itulah mengapa Bung Hatta pernah menyatakan: Setiap Pemimpin adalah Pendidik.
Dari makna ini pula kita memahami bahwa guru adalah salah satu pelaku politik yang paling penting, sebagai pemimpin di masyarakat, ketika ia menjalankan tugas kependidikannya dengan baik.
Dari makna ini kemudian Imam Al Ghazali dalam Kitab Ihya membahas tentang peran guru. Bahwa seorang guru disebut guru bukan karena semata status, silabus, kurikulum dan lainnya.
Seorang guru benar-benar menjadi guru ketika ia menjalankan tugas-tugas mengajarnya sesuai tujuannya, yaitu: Berbagi ilmu pengetahun, membersihkan jiwa dari akhlak yang tercela, dan mengarahkan anak kepada akhlak yang terpuji.
Kalau kita sudah mengamalkan ketiga ini, barulah kita menjadi guru sejati, menjadi pendidik bagi, dan mengarahkan potensi murid sesuai kemampuan masing-masing.