Bisikan Jiwa dan Kenangan Hidup

Pada akhirnya saya paham, bahwa untuk bisa menulis dengan lancar hanya perlu sedikit ketulusan.

Kalau menulis hanya untuk diri sendiri, mengungkapkan rasa dan menghadirkan makna apa adanya, maka jari ini meluncur dengan lancar dan indah di tuts keyboard.

Tapi ketika sudah dibayang-bayangi oleh penyakit riya, ingin dibaca banyak orang, ingin kelihatan cerdas dan intelek, maka di situlah hati dan pikiran mulai tertatih tatih mengungkapkan segalanya.

Teladan 5 Imam 
Syekh Al Ath Tanthawi adalah teladan terbaik dalam hal ini. Beliau adalah seorang adib, sastrawan. Sepanjang hidup beliau, ribuan tulisan sudah ditulis. Tidak ada satu hari pun kecuali beliau menuliskan, dalam tulisan yang paling pendek sekalipun, dengan bahasa yang tertata.

Tulisan beliau selalu ditunggu dan dimuat dalam berbagai media massa di Suriah, Lebanon, Saudi Arabia, dan negara arab lainnya. Keindahan bahasa dan kedalaman makna, membuat tulisan beliau menjadi sangat istimewa.

Namun dari semua itu, yang paling mengagumkan saya adalah istiqamah, kemampuan beliau untuk mempertahankan diri untuk menulis setiap hari. Entah tulisan itu pada akhirnya dimuat di surat kabar atau tidak, beliau tetap menulis walau hanya sebait cerita.

Pada akhirnya bait bait cerita itu, menjadi sebuah rangkaian kisah yang menginspirasi dan membawa bahagia. Seperti yang terkumpul dalam buku “Haditsun Nafs” dan “Dzikrayat Syekh At Tantawi”

Kedua judul buku menjadi inspirasi yang hebat bagi saya. Tidak perlu jauh jauh mencari ide untuk dituangkan. Tuliskan saja haditsun nafs (bisikan jiwa) yang datang sekelebat lalu pergi secepat kilat itu. Atau menulis dzikrayat, kenangan hidup yang sempat hadir dalam kehidupan saya yang fana ini.

kitab dzikrayat Syekh Ali Ath Thanthawi

Syaratnya satu, menuliskannya tidak boleh terputus. Kalau ditunda, maka ide dan rasa itu pasti pergi. Untuk menyambungkan lagi menjadi satu hal yang tidak mudah.

Imam Ibnul Jauzi mengungkapkan penyesalannya tentang hal ini dalam bukunya Shaidul Khathir. Banyak sekali ide dan rasa yang datang, karena tidak ditangkap dan diikat dengan tulisan, akhirnya pergi dan berlalu begitu saja.

Padahal buku Shaidul Khathir itu sendiri sudah menjadi buku Best Seller sepanjang masa. Hasil bisikan jiwa, kenangan, cerita dan perenungan ibnul Jauzi tentang kehidupan, menjadi bacaan yang bergizi dan berkualitas tinggi.

Apalagi kalau melihat catatan harian Ibnu Qayyim Al Jauziyyah; Al Fawaid dan Bada’iul Fawaid. Lebih mirip dengan kultwit atau status FB sekarang. Tapi isinya masya Allah, sangat dalam, unik, langka, dan mencerahkan.

Pesan Dr. Aidh Al Qarni hampir seperti itu. Beliau pernah berpesan, bahwa untuk menulis buku saat ini, sampaikanlah dengan bahasa-bahasa yang singkat dan praktis. Sebab seiring dengan pergeseran waktu, orang-orang sudah mulai malas membaca tulisan yang panjang-panjang.

Pengetahuan yang luas dan banyak, tidak mesti ditampakkan dan dijejalkan dalam barisan kata-kata. Pilihkan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.

Saat membaca La Tahzan dan Hadaiqa Dzata Bahjah, saya tidak pernah tau bahwa penulisnya sudah 10 kali khatam baca tafsir ibnu katsir, belasan kali baca shahih bukhari, belasan kali khatam muqaddimah ibnu khaldun, hafalan ribuan hadits dan bait syair, seperti penuturan Dr. Aidh Al Qarni sendiri dalam kitab Kaifa Tathlubul Ilma, bagaimana engkau menuntut ilmu.

kitab hadaiq dzata bahjah

Yang saya rasakan, kedua kitab itu sangat indah penuturannya, dalam maknanya, dan luas jangkauan wawasan. Artinya, apa yang kita tau akan terpantul dalam tulisan walaupun tidak harus mengutip leterlek dengan apa yang kita baca.

Sama seperti Badiuzzaman Said Nursi saat menulis Rasail Nur. Pengembaraan keilmuan beliau bertemu dengan ribuan guru, hafal 80 puluh kitab induk studi islam dan puluhan kitab ilmu umum seperti fisika, geografi, filsafat dan lainnya, membentuk sebuah jalinan pengetahuan yang menakjubkan.

Namun saat membaca Rasail Nur, yang terasa bukan kutipan isi kitab-kitab itu melainkan pantulan kedalaman cahaya pengetahuan dari penulisnya.

 

Ketulusan
Maka tuliskan saja apa adanya. Dalam bahasa yang ringkas dan mudah dipahami. Dengan kalimat-kalimat yang pendek dan bermakna.

Dari rangkaian kalimat ini, semoga bisa membentuk makna di hati dan pikiran pembaca, lalu membawa manfaat dan berkah bagi hidupnya.

Ketulusan untuk menulis dan berbagai, itulah yang saya rasakan paling penting dan utama.

Tulisan adalah cermin diri terbaik, untuk mengukur sejauh mana perkembangan diri dari hari ke hari.

Selain sebagai sarana dakwah, menulis di media sosial juga salah satu cara mengantisipasi kematian. Kalaupun pada akhirnya kumpulan tulisan ini menjadi sebuah buku, maka itu menjadi sebuah kesyukuran tersendiri.

Tapi paling tidak, saya bisa mengungkapkan apa yang saya rasakan saat ini lalu bermanfaat bagi orang lain.

Leave A Reply

Navigate