Ketika Anda jalan-jalan ke Gorontalo, Sulawesi Tengah, Halmahera, Maluku Utara, atau daerah lain yang menjadi basis Alkhairaat, maka anda akan mendapati sebuah foto ulama yang tertempel di rumah-rumah penduduk, dan namanya masih selalu disebut-sebut.
Siapa dia? Beliau adalah Habib Idrus bin Salim Aljufri, pendiri Pondok Pesantren Alkhairaat yang banyak tersebar di Indonesia bagian timur, kakek dari guru kami Habib Saqqaf bin Muhammad Aljufri dan Habib Salim Segaf Al Jufri.
Peringatan Haul beliau yang dilaksanakan setiap bulan Syawal selalu dihadiri oleh ribuan orang. Tahun ini, Kapolri dan Panglima TNI ikut menghadiri Haul bersama dengan para Abnaul Khairaat dari seluruh penjuru Indonesia.
Ketika saya ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, saya mendapati hal yang sama. Ada ulama legendaris yang menjadi kecintaan masyarakat. Beliau adalah KH Muhammad Zaini Abdul Ghani atau lebih dikenal dengan nama Guru Ijai, salah satu dzurriyat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Foto beliau dipajang dengan penuh cinta di rumah-rumah penduduk, makam beliau senantiasa diziarahi, dan haul beliau dihadiri oleh banyak orang setiap tahun. Tahun ini Presiden Jokowi ikut menghadiri acara Haul beliau bersama ribuan masyarakat lainnya.
Di berbagai kota di Indonesia, selalu ada para ulama yang namanya terus berkibar di hati masyarakat, dan pengaruh mereka tetap menancap kuat, walaupun mereka telah lama meninggal dunia.
Sejarah Perjuangan
Membuka kembali lembaran perjuangan bangsa, kita akan dapati para ulama adalah pemimpin di tengah masyarakat. Sejarah telah menunjukkan bahwa negeri ini dibangun di atas tetesan darah para santri dan ulama.
Dalam khazanah perjuangan kita, ada Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Tuanku Imam Bonjol, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zainal Mustofa, dan para ulama lainnya yang bersama para santrinya langsung turun ke gelanggang perjuangan bersimbah peluh dan darah untuk membela bangsa.
Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang digagas oleh KH. Hasyim Asy’ari dan puluhan kiai se-Jawa dan Madura, terbukti telah menggelorakan perjuangan rakyat di Surabaya melawan Inggris. Dalam tempo singkat, seruan ini menyebar ke penjuru Surabaya dan kota-kota lainnya.
Puluhan ribu kiai dan santri berperang melawan sekutu yang baru saja memenangkan perang dunia kedua. 15.000 tentara sekutu dengan persenjataan canggih tak mampu menghadapi pasukan perlawanan kiai dan santri. Bahkan, Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby tewas di tengah laskar santri.
Dalam pergerakan modern menjelang kemerdekaan, paling tidak ada 3 institusi penting Islam yang paling menonjol, yaitu: Nahdhatul Ulama (NU) yang bergerak dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan pesantren, Muhammadiyah yang bergerak bidang sosial dan pendidikan, dan Syarekat Islam (SI) yang bergerak di bidang ekonomi dan politik.
Semangat iman dan cinta NKRI yang mendasari bakti mereka kepada bangsa. Para ulama telah membuktikan rasa kepemilikan mereka yang sangat besar kepada negara ini.
Maka menjadi hal yang lucu rasanya ketika membatasi peran ulama hanya di mesjid dan pesantren saja, di tengah komplitnya permasalahan umat dan besarnya kemampuan dan pengaruh yang dimiliki para ulama.
Keilmuan mereka diperlukan di bidang politik, pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, dan lainnya. Dalam bidang-bidang, ini ada yang baik ada yang buruk. Keteguhan prinsip dan keluasan pandangan para ulama, guru-guru kita, diharapkan menjadi cahaya penerang dan obor kebenaran.
Khulafa Rasyidin
Dalam bidang apapun, ilmu adalah panglima. Kita tidak akan pernah bisa melakukan sesuatu dengan sempurna tanpa ada basis keilmuan yang baik dalam melakukannya.
Kehadiran para ahli ilmu yang berdiri di samping para penguasa memiliki arti penting dalam mewujudkan kepemimpinan yang cemerlang. Sebab kekuasaan dan Ilmu saling menguatkan satu sama lain. Kuasa tanpa ilmu tidak terarah, ilmu tanpa kuasa tidak berdaya.
Lebih indah lagi bila para pemimpin bangsa ini seperti Khulafa Rasyidin; Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, serta Umar bin Abdul Aziz. Mereka adalah penguasa sekaligus ulama. Kata “Khulafa” menunjukkan kekuasaan mereka, sementara kata “Rasyidin” menunjukkan keulamaan mereka.
Sebab, seperti kata Imam Al Mawardi dalam kitab Al Ahkaam As Sulthaniyah, bahwa tugas pemimpin ada dua, yaitu hifzuddin dan siyasatuddunia biddin. Menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama.
Nilai universal yang dibawa oleh Islam berupa amar makruf nafi munkar tidak hanya sekedar upaya memberantas prostitusi, miras, dan judi, atau mengajak ke shalat, infak, sedekah, puasa, umrah, dan haji.
Tetapi juga upaya memberantas korupsi dan mafia peradilan, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, membela nasib buruh, tani, dan nelayan, menegakkan HAM, pembangunan ekonomi masyarakat, meningkatkan kualitas pendidikan, melestarikan lingkungan dan seterusnya.
Inilah mengapa kehadiran ulama yang teguh pendirian selalu dielu-elukan umat. Pengaruh kuasa ulama di hati umat masih sangat kuat. Kaum muslimin yang tadinya tampak seperti massa mengambang, kini lebih bersatu dengan arahan para alim ulama. Dalam bahasa Ust Abdul Somad, “ternyata kerumunan sudah berubah menjadi barisan kekuatan.”
Dalam pilpres kali ini, dukungan para ulama diperlukan oleh kubu Jokowi dan Prabowo. Ijtimak Ulama GNPF mengajukan nama Jenderal Prabowo, Habib Salim, dan Ust. Somad sebagai capres dan cawapres. Walaupun kubu Jokowi menganggap bahwa suara GNPF tidak mewakili jumhur ulama, sebab menurut mereka, sebagian besar ulama mendukung Jokowi. Biarlah waktu yang membuktikan.
Ala kulli hal, kita tidak perlu meragukan keilmuan, ketulusan, dan kesungguhan guru-guru kita para ulama dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Keimanan dan nasionalisme telah menyatu dalam darah mereka, lalu mereka wariskan kepada para murid-murid dan masyarakat hingga kini. Tugas kita adalah selalu menjaga dan membersamai mereka.