Memilih Hidup Sederhana

Gambaran Tumpukan Kayu Yang Indah (https://pixabay.com)

Bagi seseorang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dari sisi pendidikan, ekonomi, politik, maupun sosial, memilih untuk hidup sederhana kadang bukan hal yang mudah.

Alasannya satu: tidak level!

Dalam keadaaan seperti itu, untuk menentukan pilihan menjadi sangat selektif. Baik itu pilihan tempat makan, tempat rekreasi, melakukan apa, dan dengan siapa menjadi pertimbangan yang rumit.

Termasuk dalam membuat tulisan atau bahkan menulis di media sosial.

Saya dulu pernah merasakan hal itu. Tepatnya, ketika baru selesai meraih gelar Doktor Hukum Islam di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Saya jadi lebih takut dan ragu menulis. Mungkin ada kendala teknis, tapi lebih banyak psikologis. Sebab was-was dengan penilaian dan kata-kata orang.

Dalam diam, tiba-tiba menyelinap bisikan dalam hati, bahwa ketika membaca tulisan yang hanya seperti ini, orang akan berkomentar:

“Sebagai doktor, tulisanmu cuma bisa seperti ini? Memalukan…!”

“Harusnya doktor itu tulisannya ilmiah, di muat di jurnal-jurnal nasional atau internasional. Minimal Sinta 3, atau lebih baik Scopus. Syukur syukur kalau masuk dalam proceding setelah dipresentasikan dalam seminar akademik. Bukan catatan singkat dan ringkas seperti ini”

“Untuk apa menulis? Tulisan seperti ini sudah banyak berserakan di internet.”

“Ketika google, tanya di ChatGPT, urusan selesai. Tidak ada orang tertarik lagi baca tulisan ini”

“Dari pada menulis, mendingan lihat instagram, nonton youtube, baca grup-grup whatsapp, facebook, atau yang lain”

Kalimat-kalimat sepele ini pada kenyataannya sudah membuat saya berhenti menulis.

Bisikan-bisikan batin itu pada akhirnya membawa kepada syarat-syarat tertentu. Mulai dari pakaian yang harus bermerek, kendaraan yang barus bagus, penampilan yang perlente, bergaul harus dengan orang-orang tertentu, tulisan harus di jurnal, karya ilmiah dan seterusnya.

Padahal itu semua hanya bisikan perasaan semata. Tidak ada satu pun yang benar-benar terucapkan. Lebih kepada hasrat sok mantap dari kenyataan 😀

Hal-hal seperti ini memang kadang-kadang mengganggu. Yang melakukan malah pikiran sendiri. Padahal pikiran-pikiran itu sebenarnya bisa dikontrol, dikendalikan, dan diarahkan. Sebab nilai-nilai kehidupan itu bisa hadir dalam kesederhaan yang paling sederhana sekalipun.

Memilih Sederhana

Gambaran Tumpukan Kayu Sederhana (https://pixabay.com)

Al Basathah akhul Azhamah” saya masih ingat kata Syekh Khaldun Salamah tentang kesederhanaan ini. Bahwa kesederhanaan adalah saudara dari keagungan. Dimana ada kesederhanaan di situ ada keagungan pribadi.

Baru tadi pagi, anak saya yang ketiga, Umair Hikmatyar (5 tahun), berceloteh satu hal yang spontan, saat saya mengantarkannya ke sekolah Pra Kuttab Ruhaima.

“Abi, Nabi Muhammad itu hidupnya sangat sederhana lho, Bi. Tidurnya di karpet yang kasar. Tidak mewah. Tidak seperti raja-raja yang lain. Padahal kekuasaannya sangat luas, lebih dari raja-raja itu.”

Iya juga, saya pikir. Nabi Muhammad saja sesederhana itu, masa saya mau gaya-gaya (misalnya mau ganti mobil yang lebih besar dan keren gitu.. :D)

Kok bisa kesederhanaan adalah saudara kembar keagungan?

Sebab, ternyata memang dalam kesederhaan tersimpan hal hal yang luar biasa, seperti:

  1. Kemudahan Fokus: Hidup sederhana memungkinkan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup, seperti hubungan, kesehatan, dan pertumbuhan pribadi, karena mengurangi gangguan dari keinginan materialistik.
  2. Ketenangan Pikiran: Tanpa tekanan konstan untuk memiliki lebih banyak barang atau mencapai standar tertentu, orang yang hidup sederhana sering merasa lebih tenang dan puas secara mental.
  3. Pengelolaan Stres yang Lebih Baik: Kesederhanaan dapat mengurangi stres yang terkait dengan keuangan dan keinginan material, karena orang yang hidup sederhana cenderung mengurangi kebergantungan pada barang-barang mahal.
  4. Hubungan yang Lebih Kekal: Kesederhanaan dalam gaya hidup dapat menguatkan hubungan interpersonal, karena lebih banyak waktu dan perhatian dapat diberikan kepada orang-orang yang dicintai.
  5. Peningkatan Kreativitas: Dengan mengurangi gangguan-gangguan yang datang dengan kehidupan yang penuh dengan barang-barang, orang cenderung menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
  6. Dampak Lingkungan yang Lebih Rendah: Gaya hidup sederhana sering kali berarti mengurangi konsumsi dan meminimalkan limbah, yang dapat membantu melindungi lingkungan alam.
  7. Kebebasan Finansial: Hidup sederhana sering kali berarti menghabiskan lebih sedikit uang, yang pada gilirannya bisa berarti lebih banyak tabungan, investasi, atau kemampuan untuk memberi bantuan finansial kepada orang lain atau berkontribusi pada penyebab yang baik.
  8. Rasa Gratitude yang Lebih Besar: Orang yang hidup sederhana sering merasa lebih berterima kasih atas hal-hal kecil dalam hidup, karena mereka lebih sadar akan apa yang mereka miliki.
  9. Kesehatan yang Lebih Baik: Dengan menghindari stres yang terkait dengan kemewahan material dan tekanan sosial, orang yang hidup sederhana cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah, yang dapat mendukung kesehatan fisik dan mental yang lebih baik.
  10. Pengurangan Pemborosan: Kesederhanaan bisa mengurangi pemborosan sumber daya, termasuk waktu, uang, dan energi, karena fokus pada hal-hal yang benar-benar diperlukan.

 

Dengan merenungi efek kesederhanaan ini, maka saya ingin mewujudkannya secara nyata dalam beberapa sisi kehidupan:

Dalam tulisan-tulisan di web saya ini, saya ingin menyampaikan adanya. Apa yang terasa dan terpikirkan, itulah yang akan saya tuangkan.

Dari awal saya mohon maaf ya, di antara tulisan mungkin yang saya tuliskan adalah hal-hal sepele dalam kehidupan.

Saya baru berusaha belajar memaknai semua hal yang sederhana dengan penuh kesyukuran, menyimpan kenangan tentang hal-hal kecil di balik layar sebagai bagian dari sejarah sosial.

Tanpa ribet, tanpa sulit-sulit, tanpa njelimet.

Wess, pokoknya apa adanya sajalah..

Antara Kesederhanaan dan Kepantasan

Saat memilih untuk sederhana, apakah itu berarti menyampingkan kepantasan?

Tentu tidak.

Walau makanannya sederhana, tetap bisa bergizi, lezat, dan nyaman.

Walau tulisannya sederhana, tapi tetap enak dibaca dan bermanfaat.

Walau penampilan sederhana, tapi tetap berkelas dan berkualitas.

Jadi standar kepantasan itu apa saja?

Yang paling utama tentunya pada adab dan kesopanan. Sesederhana apapun, adab dan kesopanan tetap perlu dijunjung tinggi. Menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, menghormati norma-norma sosial, dan berperilaku sopan santun adalah standar yang tidak boleh diabaikan.

Yang kedua soal kesehatan dan kebersihan. Ini mencakup semua, baik penampilan, makanan, tempat tinggal, maupun tulisan. Secara khusus dalam tulisan, harus sehat dari kesalahan argumentasi dan bersih dari kalimat kotor dan caci maki.

Yang ketiga adalah ketepatan dan kesesuaian. Sederhana, tapi tetap tepat dan sesuai dengan kondisi, waktu, dan agenda acara. Kesederhanaan tetap menjadi sebuah keunggulan saat sesuai dengan kondisinya.

Sederhana tentu tidak berarti tidak memperhatikan kualitas. Kerja bisa terhambat kalau ternyata tablet, laptop, komputer, atau gawai yang digunakan tidak bisa bekerja dengan baik, dengan alasan sederhana. Apalagi bagi para desiner dan programmer. Tentu tidak tepat atas nama kesederhanaan kita tidak memperhatikan kualitas hasil.

Ya, itu saja dulu untuk hari ini.

Sekedar untuk mengurai benang kusut psikologis dan menghadirkan kembali makna kesederhanaan dalam realita hidup yang lebih realistis.

Leave A Reply

Navigate