Di antara efek keimanan di dalam jiwa adalah hadirnya rasa kasih sayang kepada sesama. Mencari keuntungan, boleh. Memberdayakan orang lain juga boleh. Tetapi standarnya satu, yaitu ‘lā tazhlῑmῡna wa lā tuzhlamῡn’, tidak boleh saling menzalimi satu sama lain. Tidak menzalimi juga tidak dizalimi.
Zalim artinya aniaya, berbuat tidak adil dan bermakna gelap. Orang yang berbuat aniaya dan tidak adil maka hidupnya penuh kegelapan dunia dan akhirat. Dalam kehidupan umat manusia, salah satu penyebab utama hancurnya peradaban, kata Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, adalah kezaliman.
Sikap aniaya kepada harta milik rakyat bukan hanya dengan pengambilan harta dari tangan pemiliknya, tanpa kompensasi dan tanpa sebab. Tetapi lebih dari itu, kezaliman kepada rakyat memiliki arti yang lebih luas. (Terjemah Muqaddimah Ibnu Khaldun: 484-490).
Ilmuwan dan sosiolog Ibnu Khaldun menegaskan, siapapun yang mengambil harta milik orang lain, menekannya untuk bekerja paksa, mengajukan tuntunan yang tidak benar, ataupun memikulkan kewajiban yang seharusnya tidak diwajibkan oleh syari’at padanya, maka ia telah berbuat zalim.
Baca Juga: Hujan di Pagi Subuh
Artinya, semua rangkaian peraturan yang mengharuskan sesuatu yang tidak harus, mewajibkan sesuatu yang sebetulnya tidak wajib dengan alasan tertentu dikarenakan ingin mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, hal tersebut merupakan bentuk kezaliman kepada rakyat.
Dan memang pada kenyataannya, rakyat jelata adalah obyek yang paling besar untuk meraup keuntungan itu. Apalagi dalam keadaan tertentu, orang-orang rela mengesampingkan kebutuhan pokoknya, karena tuntutan keadaan. Contohnya saat pandemi seperti ini.
Kondisi pandemi, membuat setiap orang harus melakukan tes usap dengan sistem Polymerase Chain Reaction (PCR). Apalagi dengan adanya peraturan harus PCR untuk semua pengguna moda transportasi umum. “Apakah hal tersebut gratis?” “Tentunya tidak! Semua harus bayar!”. Maka keuntungan menjadi hal yang pasti bagi yang ikut berkongsi dalam bisnis ini.
Baca Juga: Janji Perjuangan
Sajian laporan utama majalah Tempo edisi 7 November 2021 halaman 26-34 mengungkap, bahwa ternyata bisnis tes PCR di masa pandemi Covid-19 mendatangkan duit yang besar. Orang yang terlibat dalam bisnis ini banyak dari pengusaha dan pejabat.
Riset Indonesia Corruption Watch menyebutkan keuntungan penyedia jasa tes PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun. Biaya tes PCR Rp 1,5 juta pada awal pandemi, dengan keuntungan setiap tes diperkirakan mencapai Rp 900 ribu. Dengan penurunan harga menjadi Rp 300 ribu pun masih untung ratusan ribu setiap kali tes.
Benarkah semua itu dilakukan atas dasar alasan kesehatan? Saya sangat berharap demikian. Sehingga harapan dan optimisme rakyat kita tetap ada. Tidak merasa dizalimi dan dimanfaatkan oleh sebagian pihak. Sebab memang, kata Ibnu Khaldun sekali lagi, bentuk penindasan kepada rakyat tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk itu dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki wewenang dan kekuasaan.
Konsekuensinya apa? Filsuf dan sejarawan muslim ini (Ibnu Khaldun) menyatakan bahwa konsekuensi dari tindakan mengambil harta rakyat menyebabkan hancurnya peradaban. Sebagaimana hadis Rasulullah riwayat Al Baihaqi, “Cinta dunia menjadi induk segala bentuk kejahatan”. Sebab ketika rasa itu muncul diiringi dengan sifat rakus dan tamak, maka ia akan kehilangan rasa kasih sayang dan mudah melakukan kezaliman.
Ya, dalam hal ini memang kita perlu berlindung kepada Allah dari penyakit cinta dunia ini. Sekaligus berusaha melindungi diri kita, keluarga, dan masyarakat agar jangan sampai termasuk orang yang menzalimi dan terzalimi oleh orang lain