Kehilangan yang Tak Terlupa

 

 Kehilangan yang Tak Terlupa

Source: Galeri Foto Penulis

Hampir setiap subuh saya teringat kejadian itu. Padahal terjadi sudah lama sekali, yaitu tahun 2017 yang lalu, saat bertemu dengan Prof. Dr. Amar Jidal, guru besar akidah filsafat Universitas Aljazair. Sempat pula tinggal di villa dan hotel yang sama selama dua pekan dalam rangka mengikuti seminar Internasional Akademisi Muda dan Simposium Pemikiran Badiuzzaman Said Nursi, di Istanbul Turki. Beliau pun sempat menjadi moderator saat saya mempresentasikan makalah.

Ilmu beliau sangat dalam dan wawasan beliau sangat luas. Jika berbicara seperti air mengalir dan samudra yang tak berujung, selalu sambung-menyambung dari satu ilmu ke ilmu yang lain, dari satu topik ke topik lain, tanpa terasa. Apalagi kalau bercerita tentang pemikiran Badiuzzaman Said Nursi. Beliau bisa bercerita banyak hal tanpa ada habisnya. Sebab memang beliau sendiri sudah berulangkali mengkhatamkan Rasail Nur, menulis buku dan makalah ilmiah tentang pemikiran Nursi, dan juga sebagai pimpinan redaksi Jurnal Internasional An Nur.

Pemaparan beliau dalam diskusi-diskusi ilmiah selalu dinanti-nanti. Namun ketika azan berkumandang beliau segera melesat pergi untuk melaksanakan shalat. Begitupula dalam shalat 5 waktu, beliau selalu hadir di masjid untuk shalat berjamaah.

Baca Juga: Bersama Menerangi Dunia

Seperti malam itu, saya membersamai beliau shalat Maghrib di Masjid Sehzade Mehmet, kemudian melaksanakan shalat Isya di Masjid Muhammad Al Fatih. Kedua masjid tersebut ada di kawasan Fatih yang jarak keduanya sekitar 1 km, kami menempuhnya dengan berjalan kaki sekitar 15 menit.

Di sepanjang jalan itu saya mendapatkan banyak pengetahuan bernilai tinggi. Hal yang paling mengesankan adalah di suatu subuh sebelum pulang. Yang membuat saya selalu ingat beliau, membuat saya bersemangat melangkah menjaga shalat shubuh berjamaah. Walaupun kadangkala saya kalah oleh godaan.

Malam itu saya benar-benar lelah. Di penghujung malam suasana terasa dingin, dihiasi rintik-rintik hujan yang syahdu. Saya terlambat bangun sehingga terpaksa shalat subuh di kamar dan tidak melaksanakan shalat di masjid yang ada di samping hotel kami tinggal. Saat sarapan pagi , saya bertemu Dr. Amar, apa yang beliau katakan saat itu?

“Faqadnaaka ya Umar”

(Kami kehilangan kamu, Umar)

Saya terdiam, merasa malu, menyesal, tapi juga senang. Malu dan menyesal sebab saya tidak shalat subuh di Masjid, tetapi bahagia sebab mendapatkan perhatian dari beliau. Itulah kehilangan yang tak pernah terlupakan.

Baca Juga: Tamu Sekaligus Guru

Belajar dari para Sahabat Rasulullah terdahulu yang sangat memperhatikan shalat Subuh. bahwasanya meninggalkan jamaah Subuh bukan hal yang sederhana. Khalifah Umar pernah mendatangi rumah seorang sahabat yang tidak terlihat di masjid saat subuh.

“Anakku tadi malam menghidupkan malam dengan tahajud, pagi ini dia tertidur.” kata ibunya.

“Demi Allah!” kata Sayidina Umar, “Tidak sempat tahajud tapi bisa shalat Subuh berjamaah jauh lebih aku sukai daripada menghidupkan malam tapi kehilangan shalat Subuh berjamaah.”

Sudah lama berlalu, tapi kata-kata Dr. Amar masih menyisakan kesan yang kuat di dalam hati. Begitu spontan dan sederhana, tetapi punya daya motivasi yang kuat. Mungkin karena beliau saat itu mengungkapkan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.

Hingga kini kalimat ini punya daya motivasi yang tinggi, menggerakkan saya untuk bangun, melawan kantuk dan dingin, terlebih di waktu subuh yang lebih maju seperti saat ini. Sebab saya tidak mau kehilangan subuh berjamaah lagi. Tidak dan tidak akan lagi seperti dulu

Leave A Reply

Navigate