Kalau mau hitung-hitungan, ternyata masa kita berada d bawah tanah jauh lebih panjang daripada kehidupan kita di atas tanah. Rasulullah berada di alam dunia hanya 63 tahun. Sangat sedikit bila dibandingkan dengan masa hidup beliau di alam barzakh hingga saat yang mencapai 1429 tahun.
Usia kita sebagai umat Nabi Muhammad hanya 60-70 tahun. Sangat singkat. Taruhlah usia seseorang panjang seperti usia Nabi Nuh yang mencapai 950 tahun. Tetap saja itu tidak sebanding usia beliau di alam barzakh yang hingga saat ini mencapai ribuan bahkan puluhan ribu tahun.
Padahal, dalam perjalanan kehidupan kita yang panjang nan abadi, dari lima alam yang kita lalui, hanya di alam dunia inilah saat kita mengumpulkan bekal.
Di alam arwah kita mengingat janji dengan Allah mengakui Dia sebagai rabb kita semua (QS. Al A’raf: 172). Di alam rahim kita menjalani rangkaian pembentukan diri sebagai manusia (QS. Al Mu’minun:14). Di alam dunia kita mendapatkan tugas untuk ruku’, sujud, berbuat kebaikan, dan berjuang menjalankan tugas sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi (QS. Al Hajj: 78).
Tiba saatnya kita semua akan dikembalikan lagi kepada Allah dan pada saat itulah terputus kesempatan kita melakukan amal shalih seingin apapun kita melakukannya (QS. Al Mu’minun: 99-100). Lalu ditiuplah sangkakala yang menjadi pertanda berakhirnya kehidupan dunia, dan berawalnya kehidupan akhirat. Itulah saat pertanggungjawaban atas segala apa yang telah kita lakukan, dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang ia kerjakan (QS. Al Mu’minun: 101-105).
Kehidupan kita yang berpindah-pindah dari satu alam ke alam berikutnya, tidak tetap dan betahan dalam satu keadaan, itulah yang menjadikan hidup kita menjadi fana. Namun dalam hal eksistensi, kita semua tercipta untuk abadi, seabadi surga dan neraka.
Mampir Sejenak
Maka hidup ini hanya masa transit. Beraktifitas sambil terus menanti kapan datangnya panggilan melanjutkan perjalanan. Sekedar melanjutkan perjalanan, itu tidak masalah. Masalahnya adalah keadaan perjalanan selanjutnya sangat ditentukan oleh masa kita berada di dunia ini. Siapa yang menabur benih, besok ia akan menuai hasil. Kebaikan yang ia tanam, kebaikan pula yang akan ia petik. Keburukan yang ia tabur, keburukan pula yang akan ia tuai.
Saya pernah bertanya kepada seorang ekspatriat yang tinggal di salah satu negara arab, kalau nanti pulang ke Indonesia bagaimana untuk usahanya di negara tersebut?
Jawabnya, tenang. Saya sudah bangun sistem. Saya sudah menanam kaki-kaki di sini. Saya pulang ke Indonesia, hasil usaha saya di sini bisa terus mengalir ke rekening.
Di alam dunia kita ini ada yang seperti itu. Usianya sebentar, tapi amal jariahnya mengalir tak putus-putusnya. Seperti Rasulullah dan para sahabat yang mendalami ilmu dan menunjukkan kepada kita bagaimana cara menghadapi hidup dengan bahagia penuh ridha Allah. Seperti Uqbah bin Nafi’ yang membuka pintu masuk ke Afrika, Amr bin Ash yang membuka pintu masuk ke Mesir, Khalid bin Walid ke Iraq, Abdullah bin Yasin ke Andalusia, juga Wali Songo yang membawa Islam ke Indonesia, mereka mendapatkan banyak kebaikan dari amal jariyah yang mereka lakukan.
Hidup mereka pendek tapi usia mereka panjang. Imam Nawawi, hidup 45 tahun, usianya panjang sekali. Hingga saat ini seperti masih berada di tengah tengah kita dengan karya tulisnya yang luarbiasa. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz. Meninggal dalam usia sangat muda, sementara namanya harus semerbak menjadi teladan dalam kepemimpinan.
Usia 32 tahun meninggal. Tapi nama Sibawaihi tetap tersohor sebagai ahli nahwu yang tidak ada bandingannya. Al Kitab, karyanya dalam nahwu, masih terus menjadi rujukan utama bagi yang ingin mendalami ilmu nahwu sampai saat ini.
Kita bagaimana?
Hidup ini pilihan, kawan.
Setiap kita punya kesempatan luas untuk mendapatkan asset dan menyimpang tabugan dan deposito amal kebaikan, yang setelah kita meninggal masih bisa terus mengalir.
Rasulullah memberikan kita 3 pilihan alternatif. Kita bisa mengambil semuanya atau memilih salah satunya. Yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanaat, dan anak shaleh yang terus mendoakan.
Rasululah صلى الله عليه وسلم pernah memberi nasehat:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang terus mendoakan” (HR. Muslim)
Saat ini, kita shalat, puasa, tilawah Al Quran, pahalanya akan kita dapatkan, Insya Allah. Tapi semua itu langsung putus dan tak dapat kita lakukan lagi setelah kita meninggal. Yang akan mengalir adalah ketiga hal ini, bila selama di dunia kita sempat melakukannya.
- Sedekah Jariyah
Yaitu amal kebaikan yang pahalanya terus berjalan. Sederhananya, kita membantu membangun masjid, selama masjid itu digunakan maka pahala akan terus kita dapatkan.
Kita membantu membangun sekolah dan pondok pesantren, maka selama sekolah dan pesantren itu digunakan, maka pahala akan terus kita dapatkan. Besaran pahala sesuai besaran bantuan yang kita berikan.
Alangkah indah bisa pemberian-pemberian ini tidak sekedar sisa-sisa belanja atau karena terpaksa. Tapi memang menjadi bagian dari agenda hidup yang kita fokuskan untuk membuat aset kebaikan.
Misalnya kita berusaha membuat perusahaan yang profesional. Dengan perusahaan itu kita membuka lapangan kerja untuk banyak orang. Kita dapat membantu menjadi jalan rezeki untuk para hamba Allah; menjaga kemuliaan diri mereka dari meminta-minta, membuat mereka hidup layak, menghidupi keluarga, dan mengantarkan mereka kepada cita-cita.
Secara rutin kita mengeluarkan dana sosial, beasiswa, dan pengembangan unit usaha lainnya yang membuka lapangan kerja berikutnya.
Dengan niat yang tulus untuk kemuliaan akhirat, insya Allah semua rangkaian kerja yang kita lakukan menjadi ibadah
- Ilmu Yang Bermanfaat
Secara sederhana, kita mengajarkan anak baca doa setelah makan, seumur hidup anak kita baca doa, maka kita akan ikut mendapatkan pahala.
Ketika kita mengajarkan bacaan Al Quran, selama orang yang kita ajarkan itu membaca Al Quran, maka kita terus mendapatkan kebaikan.
Mari kita berfikir lebih dengan membuka dan membina sebuah lembaga pandidikan yang terkelola secara baik dan profesional. Dengan demikian , amal yang kita lakukan bisa menjadi berkali-kali lipat.
Namun apa yang bisa kita bagikan saat tidak punya ilmu?
Maka dalam poin ini kita dituntut untuk banyak membaca, berfikir, bertanya, dan terus belajar dalam kehidupan. Kita minta kepada Allah agar Allah mengajari kita ilmu yang bermanfaat, dan menjadikan apa yang pernah kita pelajari sebelumnya memberi manfaat kepada orang lain.
- Anak Shaleh yang Mendoakan Kedua Orang Tua
Ajarilah anak-anak tradisi ibadah dan akhlak yang baik, itulah yang akan menjadi mereka anak shaleh di kemudian hari. Keyakinan mereka harus benar, orientasi hidup mereka pun harus benar. Salah didik pada dua hal ini; keyakinan dan orientasi hidup; iimaan wahtisaaban; itulah yang akan akhirnya membuat seorang anak tersasar dalam belantara kehidupan.
Apapun kesibukan kita, keluarga harus mendapatkan porsi perhatian yang lebih banyak. Sebab kelak anak anak inilah yang memiliki harapan paling besar untuk melanjutkan misi perjuangan.