Ust. Nur Huda.
Nama itu mewakili sekian banyak kenangan tentang Ramadhan dan Idul Fitri bersama Aba, para santri, alkhairaat, dan masyarakat Tilamuta.
Dulu namanya Mas Gian. Asal Banyuwangi, Jawa Timur. Agamanya Hindu. Takdir membawanya ke Tilamuta dan bertemu dengan Aba sekitar tahun 1987. Masuk Islam di tahun itu lalu berganti nama menjadi Nur Huda. Cahaya Petunjuk.
Sejak saat itu Ust Nur tinggal dan belajar di Alkhairaat Tilamuta. Dan jadi anak kesayangan Aba. Sebab ia ulet dan rajin bekerja. Saya dan adik adik sampai dekat dengan Ust Nur, dan memanggilnya Kak Nur, saking seringnya bersama Aba.
Keuletan itu masih terlihat. Sampai sekarang. Ust. Nur masih tetap jadi Ustadz segala urusan. Mulai pangkas rumput halaman sekolah, muazzin shalat lima waktu, bersih bersih masjid, perbaiki kran, sampai mengajar.
Mengajarnya pun konsisten sejak puluhan tahun lalu, di Madrasah Ibtidaiyah.
Masjid Alkhairaat yang sebesar itu, beliau sendiri yang mengecatnya setiap tahun. Halaman sekolah yang seluas itu, beliau sendiri yang membersihkan. Termasuk mengurus urusan masjid dan asrama.
Sekali kali Ust Nur mengajak anaknya. Yaitu Upik, Udin, atau Mamat. Itu pun hanya sekali kali. Ketika mereka masih kecil.
Kini anak anaknya sudah sekolah jauh. Muhammad Taufiq kuliah S1 di UMS, Jamaluddin kuliah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, dan Muhammad di Aliyah Alkhairaat.
Muazzin Abadi
Namun keuletan dan kesungguhan itu bukan satu satunya yang istimewa.
Yang paling mengesankan adalah suara emasnya ketika azan.
Suara yang menggema di seantero Tilamuta itu menjadi bagian dari kenangan ribuan abnaulkhairaat yang pernah belajar di Ponpes Alkhairaat Tilamuta, sejak pertama kali Ust Nur menginjakkan kaki di tempat ini.
Allahu Akbar
Allahu Akbar….
Terlebih di saat Ramadhan. Beliaulah yang menjaga agar suara azan shalat 5 waktu tetap berkumandang dari Masjid Alkhairaat. Terutama ketika buka puasa.
Ketika semua keluarga menikmati berbuka di rumah bersama keluarga, beliau selalu melakukannya di depan mic, ditemani radio, untuk segera berdoa lalu azan, saat waktu berbuka telah tiba.
Maka suara doa dan azan dari Ust Nurlah yang selalu dinanti menjelang berbuka.
Tidak peduli panas terik atau hujan deras, saat ramai maupun sendiri, Ust Nur selalu setia.
Di tengah gulitanya malam, lampu mati, dan hujan gerimis lalu menjadi deras, suara azan Subuh tetap terdengar, tanpa pengeras suara sekalipun.
Dan, di kala para jamaah sibuk bersalam-salaman setelah khutbah idul Fitri, Ust. Nur bersalaman seperlunya, kemudian sudah sibuk sendiri menggulung karpet yang terhampar di lapangan. Lalu lanjut membereskan perlengkapan yang lain.
Perekat Hati
Tapi itu tidak berarti hubungan beliau dengan orang sekitar tidak harmonis.
Beliau sangat memelihara silaturrahim dan merekatkan hati. Saat ada tetangga yang berhajat, beliau datang membantu. Spesialis pekerjaan yang berat berat. Seperti pasang tenda, mengatur kursi, buang sampah dan bersih bersih halaman.
Sampai suatu kali Ust Nur terduduk capek. Seorang ibu yang tidak kenal dengan beliau datang dan mendekat, sambil menyerahkan selembar uang 10.000, “ini untuk ngeteh dan beli jajan”.
Mungkin karena penampilan Ust Nur yang sudah tidak karuan sehingga dikira tukang atau yang lain.
Ust Nur menolak. Tapi ibu itu memaksa. Akhirnya Ust Nur menerima.
Melihat sosok beliau, mengingatkan saya tentang banyak hal; saat ke kebun bersama Aba, saat saya dibonceng lalu jatuh dari sepeda di tanjakan jembatan Pentadu Barat sampai membuat bibir Ust Nur pecah dan tidak mampu berbicara, saat pergi ke undangan bersama, dan banyak lagi hal yang lain.
Dalam sosok Ust Nur ada banyak kenangan dan pelajaran.
Engkau punya kenangan dengan Ust Nur?