Kenangan

Sekarang mungkin tak penting. Tapi suatu ketika, apa yang pernah kita alami menjadi bagian penting dari sejarah hidup.
 
Apa yang pernah kita lihat, dengarkan, rasakan, atau pikirkan, sesungguhnya tak pernah hilang dari hati dan ingatan.
 
Ia akan kembali hadir saat ada pemantik, ketika ada sentuhan rasa atau rasio yang membuat kenangan-kenangan itu nyata di depan mata.
 
Sekarang mungkin kita sudah bertaubat, tapi siapa yang bisa menjamin bila akar dosa yang terlanjur sudah tertanam akan kembali mekar?
 
Ia bahkan bisa tumbuh lebih rimbun dari pada sebelumnya.
 
Ya, kenangan tentang dosa yang dipupuk dengan indah menjadi senjata yang sangat kuat bagi setan untuk kembali menjerumuskan anak manusia.
 
Kenangan dan Mimpi
 
Ribuan kenangan yang pernah kita alami, itulah yang membentuk pola pikir dan cara pandang kita saat ini.
 
Tanyalah kepada masa depan, dari apakah ia terbentuk? Tentu ia akan menjawab, aku terbentuk dari kenangan dan mimpi yang tak pernah lekang.
 
Kenangan dan mimpi adalah dua kepak sayap dalam menjalani saat ini. Orang yang tidak punya mimpi ia tidak akan pernah punya masa depan, kata Ertugrul. Orang yang tidak belajar dari kenangan, tidak pernah beruntung dalam kehidupan.
 
Sepanjang perjalanan hidup hingga sampai pada titik ini, adakah sesuatu yang berubah dari kita selain fisik? Apakah itu prestasi, potensi, komunitas atau yang lain?
 
Terlepas perubahan ke arah yang baik atau pun yang buruk, kenangan menjadi bukti yang tak bisa diingkari tentang suatu masa yang pernah hadir dalam hidup kita.
 
Kisah Sekerat Roti
 
Seperti kisah sekerat roti yang saya rasakan.
 
Ceritanya, suatu malam istri saya beli roti dengan selai kacang di Legitz. Baru kecapan pertama sudah terasa sangat mengesankan. Selain karena enak, rasa roti itu mengingatkan saya tentang kejadian belasan tahun lalu, saat saya duduk di kelas 4 atau 5 SD.
 
Saat itu, selepas mengikuti les di sekolah, saya dan dua orang teman menyusuri jalan pulang. Di tengah jalan kami bertemu tukang roti yang memikul jualannya. Harum aroma roti tercium dengan nikmatnya.
 
Entah tersandung batu atau yang lain, tiba-tiba penjual roti itu jatuh, dan jualannya tumpah. Beberapa rotinya tergeletak di tanah. Ada yang bercampur tanah, sehingga terpaksa dibuang. Sebagian lagi masih bisa diselamatkan.
 
Spontan saya dan teman teman membantu mengumpulkan jajanan yang jatuh. Tukang roti itu berterimakasih, dan memberi kami masing-masing satu roti. Lalu ia pun berlalu.
 
Saya masukkan dalam tas, dan saya kembali berjalan pulang.
 
Di rumah, roti itu saya makan bareng-bareng dengan kakak-kakak santri. Sebab rumah saya dekat pondok. Rotinya luar biasa enak. Sampai kakak santri bertanya-tanya, roti ini beli dimana?
 
Saya jawab apa adanya.
 
Dan setelah kejadian itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan tukang roti tersebut. Peristiwa di sore itu tenggelam oleh waktu.
 
Dan kini, dalam kecapan pertama, peristiwa itu tampak hadir dengan jelas dalam benak, lengkap dengan rasa sejuk suasana sore setelah hujan, lalu lalang sepeda motor, tempat kejadian, gaya tukang roti yang membawa dagangan, dan lain sebagainya.
 
Ya, rasa selai kacangnya sama persis..!
 
Kenangan Ramadhan
 
Tidak hanya roti, banyak hal di Bulan Ramadhan seperti ini yang membangunkan kenangan, membangkitkan emosi.
 
Tentang saat santap sahur bersama ayah dan bunda di rumah; waktunya jam berapa, menunya apa, bagaimana cara ayah membangunkan, semua teringat jelas. Begitu pula kenangan dalam jenak-jenak buka puasa, shalat tarawih, dan tentunya idul fitri.
 
Semua kenangan itu menghadirkan gemuruh rindu, memancing air mata keluar tanpa sadar.
 
Dan saat ini, sesungguhnya kita sedang menyusun kenangan-kenangan itu di benak anak-anak dan keluarga
 
Memberdayakan Kenangan
 
“Kalau mau belajar dengan saya harus bahagia. Kalau kalian baca buku, tidak perlu musing mengingat apa isinya. Sebab pasti ingat pada saat diperlukan. Syaratnya satu, kalian membacanya dalam keadaan bahagia” demikian nasehat Dr. Muslich, dosen mata kuliah Islam dan Budaya Lokal di UII Jogja.
 
Ya. Bahagia adalah salah satu emosi paling kuat dalam melukis kenangan, sebagai cermin perjalanan hidup.
 
Dulu buruk sekarang baik, dulu baik sekarang buruk, kedua-duanya bisa saja terjadi.
 
Kalau dulu ada kenikmatan, prestasi, dan potensi yang kita miliki, sementara sekarang sudah hilang, itu tandanya ada yang berubah dari diri kita.
 
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merobah sesuatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merobah apa yang ada pada diri mereka sendiri dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Anfal: 53)
 
Ingin lebih baik? Kita yang harus berubah.
 
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’ad: 11)
 
Masih ada waktu setelah akhirnya kenangan itu tidak lagi bermanfaat apa-apa..
 
“Dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan [amal saleh] untuk hidupku ini.” (QS. Al Fajr: 24)
 
Jangan pernah biarkan kenangan-kenangan itu hilang. Peluklah ia dengan erat jangan sampai lepas.
 
Dan ingatlah, satu kebaikan kita hari ini akan menjadi kenangan indah di masa depan, dan satu keburukan akan menjadi kenangan yang menyakitkan.
 
Apapun kenangan itu, kenangan yang paling berkah dan berdaya adalah yang menuntut kita ke jalan yang lebih baik.
 
Dan tahukah engkau, apakah sesuatu yang abadi bahkan sampai ke surga dan neraka?
 
Itulah kenangan…

Leave A Reply

Navigate