Belajar dari Ust Salim A. Fillah, Ust Felix Siawu, Ust. M. Fauzil Adhim, sebelumnya ada Emha Ainun Nadjib dan Dahlan Iskan, sebelumya ada Syekh A’idh Al Qarni dan Syekh Ali Thanthawi, dan sebelum itu ada Imam Ibnul Jauzi dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, bahwa yang berat itu bukan menggoreskan kata dan merangkai makna, tapi istiqamah dalam mempertahankan amal.
Saya selalu kagum pada kesederhanaan yang bertahan lama;
Pada orang yang mampu memposting tulisan setiap hari dengan rutin di Instagram, Twitter, Facebook, Website, atau Media Massa lainnya
Pada muazzin yang mampu mengumandangkan azan selalu tepat pada waktunya
Pada jamaah yang bisa hadir di shaf pertama dalam setiap shalat berjamaah
Pada ibu yang mampu memberangkatkan anaknya ke sekolah tidak terlambat, dan sebelumnya semua anaknya sudah mandi, berseragam rapi, dan sarapan pagi. Plus kondisi kamar dan dapur yang juga sudah bersih dan wangi.
Pada guru yang tepat waktu datang ke sekolah dan tidak pernah telat masuk kelas.
Hal-hal yang sederhana dalam melakukannya tapi ternyata tidak sederhana dalam mempertahankan dan menjaganya.
Akumulasi
“Khudzu minal A’maali maa tuthiiquun. Fa Innallah la Yamallu Hatta Tamallu” Ambillah amal yang kalian mampu (untuk terus menerus melakukannya). Sungguh Allah itu tidak bosan sampai kalian sendiri yang bosan. begitu pesan Rasulullah.
“Inna Aalaa Muhammadin idza ‘amiluu amalan atsbatuuhu” Sesungguhnya keluarga Muhammad itu apabila melakukan sebuah amal, mereka akan mempertahanknya. Demikian cerita bunda A’isyah radhiallahu anha.
“Ahabbul A’mali Ilallahi adwamuha wa in qalla.” Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus menerus dilakukan walaupun sedikit. Demikian nasehat Baginda Nabi.
Mengapa?
Sebab dalam keberlangsungan amal yang dilakukan secara terus menerus akan membentuk pemikiran, ide, gagasan, dan karakter. Lalu itulah yang akan abadi dalam pandangan manusia dan dalam pandangan Allah.
Orang yang terus menerus menulis, walaupun sedikit, dia akan dikenal sebagai penulis. Orang yang terus menerus menjual, dia akan dikenal dan mati sebagai penjual. Orang yang terus menerus berbohong, dia akan dikenal sebagai pembohong. Orang yang terus menerus jujur, ia akan dikenal sebagai orang yang jujur.
Sebuah bangunan akhirnya akan tegak berdiri ketika dikerjakan terus menerus oleh tukang. Terlepas bagaimana kualitasnya, bentuk fisik bangunan itu akan terlihat bila dikerjakan dengan terus menerus.
Hidup adalah akumulasi kerja masa lalu, masa kini, dan masa depan (ketika ia datang). Itu semua akan menjadi satu kesatuan amal yang dilihat oleh manusia dan terbentang di hadapan Allah ta’ala
Kekuatan Untuk Bertahan
40 tahun lamanya Sa’id bin Musayyib tidak pernah masbuq shalat 5 waktu berjamaah. Puluhan tahun lamanya Imam Thabari menulis sehingga menghasilkan karya tafsir dan tarikhnya yang luar biasa. Puluhan tahun lamanya Imam Nawawi bertahan menulis sehingga menghasilkan berbagai karya di berbagai disiplin ilmu. Dan dalam kungkungan jeruji besi penjara dan isolasi pengasingan, Said Nursi tetap bertahan untuk menulis sehingga menghasilkan kita Rasa’il yang sangat hebat dan dahsyat.
Saya merenung kenapa saya tidak kuat mempertahankan amal? Minimal untuk menulis di duakhalifah.net ini
Jangankan hitungan tahun. Hitungan hari pun saya tidak kuat.
Saya dapatkan jawabannya pada tiga hal: ternyata saya belum menikmati, belum terbiasa, dan fokus tujuan yang lemah.
Sebab untuk bertahan dalam sebuah hal pendorongnya adalah ketiga hal itu: kenikmatan melakukan, tradisi dan kebiasaan, serta tujuan kuat yang tampak di depan mata.
Kenikmatan, Kebiasaan, dan Tujuan itulah kuncinya. Saya perlu lebih dalam merenung dan berimajinasi untuk menguatkan ketiga hal ini dalam diri saya.
Pengalaman kenikmatan, mengajak orang yang ingin melakukan apa yang dinikmatinya sekali lagi. Sekali nikmat, inginnya berulang kali. Lalu akhirnya menjadi kebiasaan. Itu yang terjadi pada keburukan, itu pula yang terjadi pada kebaikan. Orang yang menikmati sebuah aktifitas, apalagi bergabung dalam komunitas orang-orang yang menikmati aktifitas itu, maka kenikmatan pun semakin menjadi-jadi, lalu akhirnya ia bertahan lama dalam pilihan aktifitasnya.
Imam Tsabit Al Bunani pernah berkata, “Saya memaksakan diri untuk qiyamullail selama 20 tahun, lalu saya menjadi sangat menikmatinya 20 tahun berikutnya.
Untuk istiqamah, tidak boleh tidak saya mesti memaksakan diri terlebih dahulu. Memastikan dimana letak aktifitas menulis ini (dan aktifitas lainnya yang ingin saya pertahankan) di antara aktifitas lainnya; setelah melakukan apa, sebelum melakukan apa, atau pada waktu kapan dan jam berapa. Harus meluangkan waktu dan memaksakan diri terlebih dahulu.
Yang kedua: alasan dan tujuan harus jelas. Imanan wahtisaaban. Iman sebagai dasar dan ihtisaban sebagai orientasi tujuan. Mengapa saya perlu menulis? Apa tujuan saya atas semua ini? Ini yang perlu saya renungkan. Sebab alangkah banyak godaan yang memalingkan diri dari tujuan.
Saya harus mampu melihat tujuan utama dan garis besarnya. Sehingga apa yang saya lakukan menjadi sebuah rangkaian kebaikan.
Sederhananya: melalui tulisan saya ingin berbagai manfaat dan mengharap ridha dari Allah Ta’ala. Siapa tau di kemudian hari di antara kalimat yang saya tuliskan ini ada yang menginsipirasi lalu menyelamatkan saya dari api neraka.
Saya juga ingin murajaah dan menghadirkan kembali apa yang dulu pernah saya baca, saya lihat, dan saya dengar. Sebab menulis adalah cara paling efektif untuk menghadirkan semua itu. Melalui jalinan saraf otak dan bisikan hati yang bercabang ke mana mana, semuanya tampak hadir kembali di depan mata saat sudah mulai menulis. Lalu memancing pertanyaan baru yang menumbuhkan gairah untuk mendapatkan jawabannya.
Seperti air, bila ia dibiarkan dengan deras mengalir, maka ia akan membawa kebaikan ke seluruh pelosok negeri, dan mampu menjaga kebaikan dan kejernihan air itu sendiri. Sementara bila dibiarkan diam, ia tidak memberi banyak manfaat, bahkan bisa membusuk menjadi sarang penyakit.
Seperti makan, harus diiringi oleh aktifitas setelahnya agar gula yang dihasilkan oleh tidak menumpuk menjadi glukosa, menyebabkan diabetes melitus, atau lemak yang menyebabkan kolestrol.
Seperti kuda yang terus diberi makan tanpa dinaiki dan dipacu, maka ia akan menjadi pemberontak dan tidak tenang. Penumpukan tenaga pada kuda itu harus diiringi oleh aktifitas fisik agar ia menjadi sehat.
Peredaran informasi yang banyak masuk melalui panca indra harus disalurkan, melalui mengajar, diskusi, menulis, dan berbagai ilmu. Agar semuanya menjadi lebih sehat.
Bukankah orang yang paling berat siksaannya di hari kiamat adalah seorang alim yang ilmunya tidak bermanfaat? Energi dan kekuatan pengetahuan yang ia miliki hanya menjadi sia-sia dan tidak bermanfaat apa-apa, baik bagi dirinya maupun lingkungannya.
Inilah sekelebat renungan pagi ini untuk memotivasi diri agar terus berbagi.
Menjadi orang yang istiqamah memang sulit, baik istiqamah dalam kebaikan dan keburukan.
Awalnya harus memaksakan diri dulu dengan mengimajinasikan tujuan yang jelas, lalu menjadi tradisi dan kebiasaan, dan akhirnya menjadi kenikmatan yang sulit untuk ditinggalkan.
Alayyal Bidayah wa alallahi Tamaam.
Kewajiban saya adalah memulai.
Dan biarlah Allah yang akan menyempurnakannya