Terimakasih dan apresisasi yang setinggi-tingginya patut kita sampaikan kepada kampus-kampus yang memberikan beasiswa melalui jalur Tahfiz Al Quran. Kesempatan mendapatkan beasiswa jalur tahfiz menjadi sebuah karunia yang luar biasa dan membuka kesempatan melahirkan ilmuan yang polymath.
Sebutlah diantara kampus yang membuka beasiswa jalur tahfiz ini: Universitas Andalas (UNAND) Sumatera Barat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Universitas Islam Sultan Agung (UNISULA) Semarang, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUka) Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dan beberapa universitas lainnya.
Para Intelektual Polymath
Melihat kembali sejarah keilmuan Islam, kita akan mendapati banyak tokoh tokoh hebat yang telah memberikan sumbangsih pemikiran yang besar bagi kehidupan umat manusia. Jika kita menilik lebih dalam, ternyata para intelektual polymath yang menguasai banyak disiplin ilmu dengan mendalam dan menjadi bintang-bintang di langit sejarah adalah para penghafal Al Quran, dan memulai alur perjalanan keilmuan mereka dengan menghafal Al Quran.
Abu Nasir Al Farabi (870-950 M), sebelum beliau menjadi ahli dalam logika, ilmu matematika, ilmu alam, teologi, ilmu politik dan kenegaraan, beliau adalah penghafal Al Quran.
Muhammad bin Musa Al Khawarizmi (780-850 M), sebelum menjadi ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi, beliau adalah penghafal Al Quran.
Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037 M), sebelum beliau menjadi filosof, ilmuwan, dan ahli kedokteran, beliau adalah seorang penghafal Al Quran.
Ibnu Rusyd atau Averous (1126-1198 M), sebelum beliau menjadi ahli Fiqih, ahli filsafat, dan keilmuan lainnya, beliau adalah seorang penghafal Al Quran.
Mengapa demikian? Sebab pada abad keemasan islam, kegiatan pembelajaran dimulai dengan menghafal Al Quran terlebih dahulu. Penguasaan mereka terhadap Al Quran itu yang menjadi pondasi utama mereka dalam menggali ilmu-ilmu lainnya.
Ahli Sosiologi Dunia, Ibnu Khaldun, dalam kitab Muqaddimahnya, menerangkan hal ini dengan sangat jelas dalam bab “Ta’limul Wildan” (Seni Mengajar Anak). Ia mengatakan bahwa mendidik anak dengan Al Quran adalah salah satu syiar agama dan menjadi pola pendidikan di seluruh negeri-negeri Islam pada saat itu, sebab itulah cara untuk menanamkan iman dan menguatkan aqidah di hati mereka.
Belajar Al Quran juga, kata Ibnu Khaldun, adalah pondasi dasar dalam proses pendidikan, dan di atas pondasi yang kokoh ini dapat dibangun beragam bakat dan potensi keilmuan (Al Malakat). Hati seorang anak masih bersih dan sangat kuat dalam menerima pembelajaran apapun. Ketika yang diterima oleh hati mereka pertama kali adalah Al Quran maka itu akan sangat baik menjadi dasar yang kokoh untuk berbagai potensi.
Hal ini disebabkan oleh kandungan Al Quran itu yang sendiri yang merangkum banyak isyarat-isyarat ilmiah, yang dipadu dengan keindahan bahasa, dan kekuatan makna. Selain menguatkan keimanan Al Quran pun menjadi sumber inspirasi keilmuan.
Lemah dan kuatnya sebuah bangunan ditentukan oleh pondasinya. Lemah dan kuatnya akal dan hati seseorang dalam mengarungi kehidupan intelektual, spiritual, dan sosialnya, juga ditentukan oleh pondasinya. Al Quran adalah sebaik-baik pondasi yang sanggup menopang kehidupan seseorang sehingga ia tegak dengan mulia dan penuh ridha Allah Swt.
Mencetak Generasi Ilmuan
Dalam perkembangannya, Al-Qur’an memberikan pengaruh yang besar dalam jiwa anak. Ketika anak tersebut menyelami Al-Qur’an maka anak tersebut akan sanggup menyelesaikan berbagai permasalahan, baik menyangkut pemikiran maupun kejiwaan.
Perilakunya pun tertata rapi, reaksi keteguhannya akan menjadi lebih tenang, daya hafal dan pemahamannya terhadap pelajaran yang lain semakin luas. Ada korelasi yang positif antara kemampuan seorang anak menghafal Al Quran dan kemampuannya menerima pelajaran di kelas. Minimal mereka memiliki daya serap yang baik karena telah terbiasa menghafal Al Quran. Di otak mereka telah tersimpan 77.439 kalimat Al Quran. Jika seorang penghafal Al Quran menguasai arti kalimat-kalimat tersebut, maka seakan-akan ia telah menguasai satu kamus Bahasa Arab. Dengan terus menghafal, maka ia terus melatih kemampuan otaknya.
Para penghafal Al Quran yang tekun adalah seorang pembelajar yang giat. Hal itu karena proses menghafal Al Quran melahirkan kebiasaan-kebiasaan sukses dan positif, seperti fokus, disiplin, manajemen waktu, dan kemampuan melawan jenuh, sehingga bisa menyelesaikan hafalan Al Quran. Kebiasaan baik akan membuahkan hasil yang baik ketika dibawa mempelajari bidang tertentu.
Kegiatan tadabbur Al Quran, yang biasanya mengiringi kegiatan menghafal ini, menjadi pemicu kemampuan analisa dan kreatifitas berfikir. Seorang yang terbiasa memikirkan makna dan kandungan Al Quran akan menemukan isyarat-isyarat Al Quran tentang kehidupan, dan bagaimana memaknainya sesuai konteks saat ini dan dalam disiplin ilmu yang ia pelajari.
Setelah terbentuk pondasi yang kokoh dan kebiasaan hidup yang baik, hal penting untuk dikokohkan adalah budaya ilmu yang terkait dengan cita-cita dan idealisme, kemauan yang tinggi, dan kemampuan ilmiah terkait dengan daya serap, daya analisa, dan daya cipta.
Di sinilah pentingnya guru yang dapat mengarahkan para pelajar yang telah memiliki pondasi dan potensi ini ke arah tujuan yang tepat. Sebab bagaimana pun juga, seorang di balik bangunan yang megah ada ada seorang arsitektur yang hebat. Dan dari kampus-kampus hebat yang memberikan beasiswa ini, kita yakin banyak guru-guru hebat yang bisa melakukan pembimbingan itu.