Kenangan Indah Bersama Al Quran

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan pertanyaan dari seorang bapak.

“Ustadz, insya Allah beberapa hari lagi istri saya melahirkan. Saya ingin sekali menjadikan keluarga saya keluarga yang dekat dengan Al Quran. Apa yang harus saya lakukan?”

Saya terdiam.

Pertanyaan yang sederhana namun berat jawabannya. Ringan dalam teorinya, berat dalam aplikasinya.

Akhirnya saya memberanikan diri untuk sekedar mengungkapkan apa yang saya rasakan.

Kenangan Indah

Di usia saya saat ini, kadang terbetik juga keinginan menonton film satria baja hitam dan  power ranger mighty morphin. Bahkan sampai saat ini saya masih suka menikmati nonton film doraemon bersama anak-anak saya.

Mengapa? Sebab saya punya kenangan indah masa kecil dengan film-film itu. Maka kenangan-kenangan itu kadang memanggil-manggil saya kembali.

Kerinduan kampung halaman terasa semakin menguat dalam obrolan tentang masa kecil. Nostalgia-nostalgia singkat itu kadang sampai membuat bahagia dan juga bisa menitikkan air mata.

Tatkala kesempatan pulang kampung itu tiba, maka di sepanjang jalan yang dilalui yang tampak terlihat dalam khayal adalah diri sendiri dan teman-teman masa kecil yang berlari-lari melalui tempat itu. Satu kenangan memanggil kenangan yang lain. Satu memori mengundang ribuan memori lainnnya. Seakan ia berada di pelupuk mata, padahal ia telah berlalu puluhan tahun yang lalu.

Begitu pula saat melewati gedung sekolah tempat mengaji dulu, terbayang segala apa yang pernah terjadi di situ. Saat pertama kali mengeja huruf a b c bersama guru kelas satu, atau saat pertama kali belajar mengucapkan a ba ta bersama ibu. Jelas sekali tergambar masa-masa itu.

Kenangan itulah yang akan memanggil seseorang untuk kembali saat ia pergi jauh. Kembali untuk berada dalam kebiasaan kebiaannya yang mengesankan dahulu. Kembali untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan itu. Kenangan indah itulah pengikat hati yang sangat kuat saat ikatan fisik sudah mulai terpisah oleh jarak dan waktu.

Tugas penting orang tua adalah membentuk lingkungan keluarga yang menyenangkan dalam berinteraksi dengan Al Quran. Bagaimana menghadirkan suasana yang spesial bersama Al Quran di dalam rumah. Kelak ketika anak-anak tumbuh besar, mereka akan tumbuh dalam suasana itu. Ketika mereka telah jauh berjalan, mereka akan kembali merindukan suasana itu.

Alangkah spesialnya bila sang anak secara rutin melihat bapaknya asyik tilawah Al Quran di rumah daripada sibuk main whatsappnya. Alangkah indahnya bila si kecil melihat ibunya begitu akrab dengan mushafnya daripada sibuk OLshopnya. Lalu keakraban sang ibu dengan Al Quran itu ia tularkan kepada anak-anaknya melalui cerita-cerita indah tentang kisah-kisah Al Quran dalam obrolan ringan penuh kasih sayang.

Kenangan yang seperti inilah yang terus membayang di hati Badiuzzaman Said Nursi, seorang ulama dari Turki.

Di usianya yang telah lanjut, setelah bertemu dengan ribuan orang, belajar lebih dari 80 ribu guru, menghafal dan menguasai banyak kitab-kitab referensi dalam studi islam dan umum, yang selalu terkenang dalam hatinya adalah obrolan beliau dengan ibunya saat masa kecil dulu. “Semua ilmu yang aku dapatkan saat ini hanyalah pengembangan dari pengajaran dan cerita dari ibuku saat kecil dulu” Begitu pengakuan beliau dalam buku biografi hidupnya.

Seperti itu pula yang dirasakan Muhammad Iqbal, ulama dari Pakistan. Ia bercerita, dulu ayahnya selalu bertanya saat ia membaca Al Qur’an,

“Iqbal, apa yang sedang engkau baca”

“Mushaf Al Quran, ayah” jawab Iqbal

Pertanyaan ini selalu berulang di setiap waktu, padahal ayahnya tau Iqbal sedang membaca Al Quran. Hal ini membuat Iqbal heran.

Sampai pada suatu ketika, ayahnya memberikan pesan, “Iqbal, bacalah Al Quran seakan-akan ia turun kepadamu”

Kenangan dan pesan yang singkat sayang ayah ini ini, kata Iqbal, sangat terpatri dalam hati dan akhirnya membawanya ke dunia ilmu pengetahuan dan melahirkan banyak karya.

Alami, Amali, dan Ilmi

Membangun suasana keluarga yang alami, amali, dan ilmi. Itu sesungguhnya yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini. Dan saya pun masih terus belajar untuk menumbuhkannya di keluarga kecil kami.

Yaitu suasana dalam keluarga yang sangat akrab antara ayah, ibu, dan anak-anak. Jalinan tali kasih sayang tertaut dari hati ke hati. Tidak ada sekat psikologis antara anggota keluarga. Rumah menjadi tempat yang paling nyaman dan selalu dirindukan. Semua berjalan damai dan mengalir dengan gemulai dan sarat nilai.

Nilai-nilai itu tumbuh dan berkembang dengan kuat secara alami, melalui obrolan dan sikap. Ia tumbuh dengan alami karena lahir berdasarkan ilmu. Ayah mendidik berdasarkan ilmu, ibu mendampingi berdasarkan ilmu. Kalaupun harus marah, marahnya berilmu. Kalau harus melarang, larangannya itu pun berdasarkan ilmu. Bukan terbawa-bawa hawa nafsu dan emosi sesaat yang akhirnya melahirkan penyesalan.

Membekali diri dengan ilmu, inilah modal pertama dan paling utama bagi orang tua yang merindukan keluarga qurani. Tak cukup satu dua buku yang dibaca. Perlu banyak ilmu yang harus terus menerus digali seiring dengan cepatnya perkembangan zaman. Bisa jadi masalah bila ilmu kependidikan kita tertinggal jauh dan tidak siap menghadapi kondisi anak-anak zaman now ini.

Ilmu itulah mengajak kepada amal. Begitu kuatnya ilmu itu melekat, sehingga aktifitas amali itu terasa benar-benar alami, tanpa dibuat-buat, tanpa ada ketegangan dan dipaksa-paksakan. Sangat sederhana, tapi benar-benar bernilai.

Lalu kita pun jadi paham arti diamnya bapak dulu untuk sebuah permintaan kita yang belum waktunya. Misal minta sepeda, minta jajanan tertentu, atau minta mainan tertentu. Bukan karena ayah tidak mau, tapi karena memang belum waktunya untuk dipenuhi. Diam itu pun berdasarkan ilmu.

Teringat juga kemarahan ibu ketika kita melakukan hal yang berbahaya dan tidak pantas, yang disampaikan dengan suara keras tapi didorong oleh rasa kasih sayang yang kuat dan juga berdasarkan ilmu. Kini kita paham mengapa diam dan marah itu ada. Dan kenangan-kenangan tentang semua itu semakin membuat kita rindu.

Leave A Reply

Navigate