Inilah beberapa kisah tentang perjuangan melahirkan keluarga yang harmonis.
Kisah Mubarak, Sang Penjaga Kebun
“Sudah bertahun-tahun engkau bekerja di sini, memilih delima yang baik saja kamu tidak bisa. Tidak bisa membedakan mana yang manis mana yang masam!” ujarnya.
“Tuan,” jawab Mubarak dengan polos dan jujur, “selama ini engkau hanya menyurhku untuk menjaga kebun, dan tidak pernah mengizinkanku mencicipi buahnya. Bagaimana aku bisa membedakan antara yang manis dan masam?”
Majikannya terpana dengan kejujuran budaknya. Selang beberapa hari, sang tuan datang menemui Mubarak untuk dimintai pendapatnya. “Aku hanya punya seorang anak perempuan, dengan siapa aku harus menikahkannya?”
Mubarak menjawab dengan tenang, “Tuan, orang Yahudi menikahkan karena kekayaan, orang Nashrani menikahkan karena ketampanan, orang Jahiliyah menikahkan karena nasab kebangsawanan, sedangkan orang Islam menikahkan karena ketakwaan. Tuan termasuk golongan mana silahkan tuan menikahkan putri tuan dengan cara mereka!”
Pemilik kebun itu berkata, “Demi Allah, aku hanya akan menikahkan putriku atas dasar ketakwaan. Dan aku tidak mendapati laki-laki yang lebih bertakwa kepada Allah melebihi dirimu. Maka aku akan menikahkan putriku denganmu.”
Mubarak menjaga dirinya dari makan buah delima di kebun yang dia bekerja di sana karena belum pernah diizinkan oleh pemiliknya, namun akhirnya Allah anugerahkan kebun itu beserta pemiliknya kepadanya. Balasan memang sesuai dengan amal. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Maka dari rumah tangga yang dibina Mubarak atas dasar ketakwaan tadi, lahirlah seorang syaikhul Islam, ulama besar, muhaddits ternama, mujahid yang pemberani, seorang kaya yang dermawan; Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah.
Kisah Tsabit bin Nu’man, Ayah Imam Abu Hanifah
Mirip dengan kisah Tsabit yang harus berjalan berkilo-kilo meter menyurusuri sungai untuk mencari pemilik apel yang ia makan, dan siap menerima konsekwensi apapun asalkan mendapatkan kehalalan atas apel yang ia makan.
“Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berjalan, apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka aku akan memaafkanmu,” jawab si pemilik apel
Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus Tsabit nikahi merupakan wanita cacat. Tapi ia menyatakan siap menikahi itu asalkan sepotong apel yang terlanjur ia makan menjadi halal. Ternyata perempuan yang ia nikahi memiiki kecantikan dan banyak keutamaan. Maka dari pernikahan yang penuh barakah ini lahirlah seorang anak yang diberi nama An-Nu’man, yang di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah.
Mengapa para ulama dan generasi shalih terdahulu sangat memperhatikan kehalalan makanan?
Sebab apa yang kita makan, kata Imam Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, pada akhirnya hanya akan menjadi tiga macam; bagian ampas dan keras itulah yang menjadi kotoran, bagian yang halus dari saripati makanan akan menjadi darah dan daging, sementara bagian yang paling halus dari saripati itu akan menjadi air mani. Maka apa jadinya seorang anak bila “bahan produksi” nya sudah berasal dari yang haram? Apalagi “diproduksi” dengan cara yang haram pula?
Dalam konteks ini, kita bisa mendapatkan adanya hikmah yang mendalam pada kata guru-guru kita terdahulu, “Didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia lahir” yaitu dengan cara menjaga kehalalan apa yang kita makan.
Mencetak Anak Shaleh
Bagaimanapun juga anak shaleh adalah karunia yang tidak tertandingi. Di dunia ia menjadi permata hati, di akhirat dia memberikan syafaat kepada keluarga.
Segala usaha dan kerja keras, tak ada artinya sama sekali, dibanding dengan karunia yang orang tua peroleh. Apa artinya secuil pengorbanan dengan sedikit lelah, sedikit lapar, sedikit repot, apabila dari sedikit pengorbanan itu, kita bisa melahirkan generasi-generasi istimewa yang membawa suluh petunjuk dan panji kemuliaan.
Mencetak anak shaleh harus dimulai jauh sebelum ia lahir. Sebab cetakan dasar seorang anak sedikit banyak adalah copy paste dari orangtuanya, baik dari fisik maupun kepribadian, walaupun tidak benar-benar mirip. Maka seorang yang merindukan lahirkan anak keturunan yang mulia, mesti meniti jalan kemuliaan sejak dini.