عن جندب بن عبد الله قال : ” كُنَّا غِلْمَانًا حَزَاوِرَةً مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَتَعَلَّمْنَا الْإِيْمَانَ قَبْلَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيْمَانًا،
Dari Jundub bin Junadah –radhiyallahu ‘anhu– berkata, “Kami telah bersama Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– ketika kami masih sangat muda. Kami mempelajari iman sebelum belajar al-Quran, kemudian barulah kami mempelajari al-Quran hingga bertambahlah keimanan kami karenanya.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini menujukkan perhatian Rasulullah yang sangat besar terhadap penguatan iman. Prinsipnya adalah adab sebelum ilmu, iman sebelum Al Quran. Iman ditanamkan dengan kuat sebelum memulai pembelajaran Al Quran, dan pembinaan adab lebih diutamakan sebelum memulai pembelajaran aneka ilmu pengetahuan.
Tradisi pembinaan adab sebelum ilmu dapat menjadi prioritas ulama ulama terdahulu.
Imam Abdullah bin Mubarak berkata, “Saya mempelajari adab selama 30 tahun, dan saya mempelajari ilmu selama 20 tahun. Demikianlah para ulama terdahulu belajar adab sebelum ilmu”
Sebagian ulama berkata, “Adab itu dua pertiga ilmu”
Yang lainnya berkata, “Sedikit adab lebih kami perlukan daripada banyak ilmu”
Menyadari pentingnya penanaman adab ini, para guru pun berusaha hadir di hadapan para muridnya dengan adab-adab yang mulia, dan para murid mendapatkan banyak pelajaran adab dari guru-gurunya. Abdullah bin Wahab, seorang murid Imam Malik bin Anas, pernah menyatakan, “Apa yang kami pelajari dari Imam Malik dari adabnya lebih banyak dari pada apa yang kami dapatkan dari ilmunya” Padahal majlis Imam Malik terkenal penuh dengan banyak ilmu dan pengetahuan.
Saat Imam Malik bin Anas kecil, ia pun mendapatkan pesan yang sama dari Ibunya. Ia bercerita,”Saat kecil dulu, ketika ibuku menyiapkan imamahku sebelum pergi belajar, ia selalu berpesan, “Wahai Malik, pelajarilah adab terlebih dahulu dari gurumu sebelum engkau belajar ilmu”
Imam Ibrahim bin Hubaib, sebelum ia keluar untuk menuntu ilmu, bapaknya berpesan, “Anakku, datangilah para Fuqaha dan Ulama, belajarlah dari mereka, ambillah adab-adab, akhlak, dan petunjuk mereka. Demikianlah lebih saya sukai daripada menguasai banyak hadits”
Mengapa para ulama sangat menekankan adab ini? Sebab nilai keilmuan seseorang ada pada adabnya. Seorang yang tidak beradab, maka ilmunya menjadi tidak bermanfaat.
Imam Hasan Al Bashri berpesan, “Seorang yang menuntut ilmu, hendaklah terlihat bekas ilmunya itu pada kekhusyu’an, pada petunjuk, pada lisan dan tangannya”
Begitu pentingnya membangun adab ini, maka ilmu tentang sarana dan cara untuk membangun adab ini menjadi hal penting yang sangat penting pula untuk diketahui.
Dalam buku Tarbiyatul Aulad, Dr. Abdullah Nashih Ulwan telah memberikan penjelasan yang sangat indah tentang media, sarana, dan strategi pendidikan anak dalam Islam. Dari sekian banyak hal yang beliau sampaikan, ada tiga hal yang poin yang paling penting dalam proses pembentukan akhlak ini, yaitu: penanaman iman dan contoh teladan.
Penanaman Iman
Akhlak yang mulia terbit dari keimanan dan keyakinan yang kokoh. Tanpa adanya pondasi yang kuat, akhlak tidak memiliki pondasi yang kuat dan mudah goyang diterpa angin kehidupan. Sedikit kata-kata manis propaganda dan rayuan, bisa membuat seseorang berubah. Dari yang tadinya jujur, menjadi pembohong. Tadinya lemah lembut dan menghargai orang lain, menjadi sangat kasar. Suka membantu, menjadi suka menindas.
Dalam hal ini, yang paling berperan adalah keyakinan beragama yang ditanamkan sejak dini. Sebab agama adalah cahaya. Tanpa cahaya orang hanya akan meraba-raba dan menafsirkan sesuatu yang seharusnya sudah sangat jelas ketika cahaya itu ada.
Seorang anak yang sejak kecil tumbuh dalam keimanan kepada Allah, besar dalam perasaan takut dan merasa selalu diawasi oleh Allah, pasrah kepada Allah dan selalu memohon pertolongan kepadaNya, maka akan muncul potensi alami dan rasa penerimaan untuk semua keutamaan dan kemuliaan, berpegang kepada akhlak yang kuat dan terhormat.
Sebab perasaan keberagamaan telah tertanam kuat di lubuk hatinya, muraqabatullah yang telah tercetak di kedalaman qalbunya, dan muhasabah diri yang telah menguasai pikiran dan perasaannya, akan mampu menolak pengaruh sifat-sifat buruk, kebiasaan rendah, dan tradisi jahiliyah.
Dengan keimanan itu, ia akan mencintai kebaikan dan kebaikan akan menjadi tradisi hidupnya. Kecintaannya kepada kemuliaan dengan menjadi perilaku yang paling menonjol dalam sifat-sifatnya.
Hal ini sudah diperlihatkan oleh banyak pengalaman pendidikan dalam kehidupan Rasulullah, sahabat, dan para ulama.
Pendidikan akhlak tegak di atas pondasi agama. Tanpa agama akhlak itu tidak akan berdiri.
Orang-orang non muslim pun mengakui hal yang sama.
Filosof Jerman, Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) pernah menyatakan, “Akhlak tanpa agama itu sia-sia”
Mahatma Gandi juga mengatakan, “Sesungguhnya agama dan kemuliaan akhlak adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Agama adalah ruh bagi akhlak dan akhlak adalah udara bagi ruh itu. Dalam kata lain, agama itu menumbuhkan dan merawat akhlak, seperti air yang menumbuhkan dan merawat tanaman”
Ketua Mahkamah Agung Inggris, Alfred Thompson Denning (1899-1999) menegaskan, “Tanpa agama, tidak mungkin ada akhlak. Tanpa akhlak tidak mungkin ada aturan. Agama adalah sumber prima yang terjaga, dan dengannya dikenal mana akhlak yang baik mana yang buruk.
Agamalah yang mengikat manusia dengan nilai tertinggi yang menjadi tujuan semua perbuatannya. Agamalah yang membatasi egoisme manusia, menahan mereka dari kejahatan nafsunya dan pengaruh buruk kebiasannya, menundukannya kepada tujuan dan nilainya, dan membangun hatinya agar hidup kuat dalam pondasinya dan meningkat dalam akhlaknya.”
Filofos Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) juga pernah berkata, “Tidak ada keberadaan akhlak tanpa tiga keyakinan: keyakinan kepada tuhan, keabadian roh, dan perhitungan setelah mati”
Dalam usaha penanaman keyakinan ini, paling tidak ada tiga hal yang harus benar benar ditanamkan, yaitu: mengenalkan Anak kepada Allah, menumbuhkan ruh ibadah dan taqwa, dan menumbuhakan perasaan selalu di awasi oleh Allah
Contoh Teladan
Teladan yang baik adalah pilar utama dalam proses pendidikan. Maka sudah sepantasnya bagi seorang guru dan pendidik tidak berbohong kepada anak hanya karena ingin mendiamkan mereka agar tidak menangis, memotivasi mereka untuk suatu hal, atau mendiamkan mereka supaya tidak marah-marah.
Kebohongan orang tua dan guru kepada anak adalah teladan keburukan, yang akan mewariskan pemikiran dan kebiasaan yang buruk kepada anak. Kata-kata orang tua tidak mempunyai kekuatan, saat anak melihat langsung tindakan orang tua yang berlawanan dengan apa yang ia ucapkan.
Saat kecil, Abdullah bin Amir pernah dipanggil oleh ibunya, “Nak, ayo kesini. Ibu akan beri kamu sesuatu”
Rasulullah yang saat itu ada di di situ langsung bertanya, “Kamu mau beri dia apa, bu?”
Ibu Abdullah menjawab, “Kurma”
Rasulullah berkata, “Kalau kamu tidak beri dia sesuatu (sesudah kamu bilang akan memberinya), maka engkau telah berbohong”
Anak yang suka memaki dan berteriak-teriak, sesungguhnya ia hanya meniru apa yang ia lihat. Mungkin itu bapak-ibu, teman-temannya, atau lingkungannya.
Dibanding dengan segunung nasehat kepada anak, teladan kelembutan berbicara dari ayah dan ibu jauh lebih berpengaruh. Kelembutan itulah yang akan menjadi sifat, kebiasaan, dan karakter, saat ia mendapatkan perlakuan yang lembut dan kepedulian yang tinggi dari orang tua dan gurunya.
Ketika Uqbah bin Abi Sufyan menyerahkan anaknya kepada pembimbing akhlaknya, Uqbah berkata kepada sang guru, “Hendaklah yang pertama kali engkau lakukan adalah memperbaiki dirimu sendiri. Sebab mata mereka tidak pernah lepas darimu. Kebaikan bagi mereka adalah yang engkau anggap baik, dan keburukan bagi mereka adalah apa yang engkau anggap buruk. Ajarkan kepada mereka sejarah hidup orang-orang bijak, akhlak orang-orang beradab”
Adab adalah warisan terbaik orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua yang berhasil mewariskan adab, telah membukakan jaminan kemuliaan bagi dan rezeki luas untuk generasi-generasi yang datang setelahnya