Ketika kita mengecam dan menolak pernyataan Trump tentang penetapan Al Quds atau Yerussalem sebagai ibukota Israel, maka sadar atau tidak , kita sedang mengakui Israel sebagai negara, atau minimal tidak menolaknya. Yang kita tolak adalah penetapan Yerussalem sebagai ibukotanya.
Tapi tanyalah kepada anak-anak kecil Palestina, bagaimana pendapat mereka tentang penetapan ini? Jawabannya sangat menakjubkan, seperti yang bisa kita lihat dalam video anak-anak Palestina yang sedang viral di medsos. Mereka bukan saja tidak menerima Yerussalem sebagai ibukota Israel, tetapi juga tidak mengakui Israel sebagai negara.
“Tidak ada negara yang namanya Israel. Mereka itu cuma orang asing yang datang mengambil tanah kita disini”kata seorang anak. “Israel itu apa? Itu bukan negara. Mereka hanya penjajah yang datang kesini. Al Quds adalah ibukota kita, ibu kota Palestina,” kata anak yangberbaju merah. “Isreal itu tidak punya negara, tidak punya ibukota. Mereka hanya merampas tanah Palestina” kata yang satunya. “Israel itu hanya penjajah yang didukung oleh negara barat yang membuat mereka kuat dan mampu menjajah. Al Quds selamanya ibukota Palestina sejak zaman penduduk Kan’an” kata anak berkacamata. “Israel itu tidak punya negara apalagi ibukota” tegas seorang anak yang lain.
Dan begitulah kenyataannya..!
Berdirinya Israel
Dr. Thariq As-Suwaidan, dalam buku Ensiklopedi Yahudi, menyatakan: fakta membuktikan bahwa Israel berdiri di atas mayat-mayat bangsa Palestina yang tidak berdosa. Pada petang hari 14 Mei 1948, bangsa Yahudi mendeklarasikan negaranya dan menguasai 77% tanah Palestina. Mereka memberi nama negara jajahan ini “Israel” seiring dengan terlantarnya 800.000 warga Palestina yang terusir dari negerinya, setelah peristiwa pembantaian kaum Yahudi yang begitu keji.
Inggris adalah negara yang paling berkontribusi dalam memprakarsai berdirinya Israel. Tanggal 2 November 1917, menteri luar negeri Inggris, Arthur James Balfour, mengeluarkan satu pernyataan tertulis atas nama pemerintah Inggris bahwa ia berjanji akan mendirikan negara untuk bangsa Yahudi di Palestina. Pernyataan inilah yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Balfour.
Selama masa penjajahannya di Palestina dari tahun 1918-1948, Inggris mendukung kaum Yahudi untuk mengambil alih dan menguasai tanah-tanah di Palestina. Dalam masa itu kaum Yahudi berhasil mendirikan lembaga-lembaga ekonomi, politik, pendidikan sosial, dan membangun militer. Hingga tahun 1948, orang-orang Yahudi telah berhasil membangun sekitar 292 kompleks pemukan Yahudi dan membentuk pasukan militer melalui organisasi-organisasi Haganah, Argun, dan Stern, yang jumlahnya mencapai 70.000 tentara.
PBB pun mengakui eksistensi Israel sebagai negara. Hanya saja, bila setiap negara yang terhimpun dalam PBB memiliki dokumen dan data yang menjelaskan batas-batas geografisnya dan diakui oleh dunia internasional, maka keanggotaan Israel di PBB, kata Dr. Thariq Suwaidan, diterima tanpa memiliki batas-batas wilayah negara yang jelas.
Melanjutkan Misi
Channel berita Aljazeera pernah mengulas bahwa hasil data statistik menunjukkan lebih dari 650.000 warga Palestina telah menjadi tawanan Israel sejak awal tahun 1967. Jumlah ini setara dengan 1/3 jumlah penduduk Palestina. Penjara Israel yang terdapat di 25 lokasi yang berbeda ini lebih mirip dengan kamp-kamp investigasi yang kegiatannya diawali dengan tekanan, penyiksaan, dan berakhir dengan pembunuhan, membuat para tawanan cacat permanen, cacat mental, dan tekanan jiwa.
Namun tidak surut sedikitpun semangat anak-anak muda Palestina untuk membebaskan negara mereka.
Belum lagi adanya tembok pemisah ras Israel di Palestina yang semakin menambah duka. Tembok ini terbuat dari bahan beton dengan ketinggian 4,5-9 meter sepanjang 620 km. Luas tanah Palestina yang diambil untuk pembangunan tembok ini sekitar 1.870 hektar. Tindakan ini mengakibatkan pengaruh sosial dan ekonomi yang buruk bagi warga Palestina, utamanya pengusiran lebih dari 1400 keluarga serta terisolirnya sejumlah perkampungan.
Dewan Keamanan PBB tak mampu menghentikan penindasan ini, sebab Amerika selalu berdiri untuk melindunginya. DK PBB tak mampu menjebloskan Israel sebagai “negara tertuduh” karena membangun tembok pemisah ras Israel, setelah Amerika menggunakan Hak Vetonya pada Oktober 2003 untuk menentang resolusi apa pun yang mengecam Israel. Amerika menuntut Mahkamah Internasional PBB untuk tidak menetapkan keputusan yang mengandung intervensi apa pun terhadap kepentingan Israel.
Ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Trump, hanya melanjutkan misi pendahulunya yang ingin menguasai dan memberikan tanah Palestina sepenuhnya kepada Israel, tidak peduli berapa korban lagi yang jatuh, dan seberapa besar pelanggaran hak asasi manusia.
Aksi Bela Palestina
Aksi bermartabat kembali ditunjukkan oleh umat islam Indonesia. Para guru dan ulama bisa kembali memimpin umat untuk menyuarakan rasa kepedulian dan pembelaan mereka kepada Palestina dan masjid Al Aqsa. Ini menjadi bukti dunia bahwa muslim Indonesia masih peduli dengan nasib saudara mereka di Palestina. Ini tidak sekedar persoalan politik, tapi juga persoalan kemanusiaan dan persaudaraan.
Saya percaya, aksi solidaritas seperti ini menjadi bentuk dukungan moril bagi pejuang, aktifis kemerdekaan Palestina, dan juga bagi warga Palestina sendiri. Di samping telah menjadi salah satu bentuk kepedulian, edukasi umat, dan juga wasilah hidayah.
Saya berharap, adanya aksi Palestina tidak hanya sebatas mengecam keputusan Trump menjadikan Yerussalem sebagai ibukota Israel, tetapi menjadi momentum edukasi umat islam dan membangun kesadaran kolektif tentangnya kemuliaan mesjid Al Aqsa dan posisi Palestina sebagai tanah suci umat Islam, dan kewajiban membantu kemerdekaan rakyat Palestina.
Kini Palestina telah menjadi bagian dari masyarat Indonesia. Kesadaran ini perlu dijaga dan dikelola agar menghasilkan kontribusi yang nyata.