“Tidak ada solusi bagi permasalahan-permasalahan Yahudi kecuali dengan mengumpulkan orang-orang Yahudi dari seluruh dunia dalam satu wilayah. Lalu mereka mendirikan negara sendiri, dan mereka kemudian menyelesaikan masalah-masalah mereka yang nyaris tidak terselesaikan selama hamper 2000 tahun setelah dihancurkan dan dicerai-beraikan oleh Romawi,” tulis Binyamin Ze’ev atau Theodore Herzl dalam buku Der Judenstaat yang terbit pertama kali di Vienna, Austria dan Leipzig, Jerman pada Februari 1896.
Pesan intinya adalah orang-orang Yahudi yang terpencar pencar di berbagai tempat dan kawasan harus dikumpulkan dalam satu negara dan mereka memilih Palestina menjadi negra negara itu.
Tanggal 15 Juni 1896, Herzl sudah berada di wilayah Palestina langsung ke pusat pemerintahan Utsmani menawarkan bantuan untuk membayar hutang-hutang dinasti Utsmani yang menumpuk, dengan syarat Yahudi diizinkan untuk membeli tanah di Yerussalem, Palestina.
Sultan Abdul Hamid II dengan tegas menolak.
Setelah penolakan itu, Herzl kembali mengirimkan delegasi dengan juru bicara Emmanuel Carasso. Mereka meminta kepada Sultan untuk menjual atau menyewakan tanah Palestina selama 99 tahun dengan imbalan emas sebanyak tiga kali lipat keungan Daulah Ustmaniyah .
Namun kembali dengan tegas Sultan Abdul Hamid II “Aku tidak akan menjual meski sejengkal dari wilayah ini. Sebab tanah itu bukan milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyatku telah mendapatkan negeri ini dengan pertumpahan darah dan menyiraminya dengan darah. Aku pun akan menyiraminya. Dan kami tidak akan biarkan seorang pun merampoknya”
Betapa Lemahnya Kita
Daulah Utsmaniah masih punya kekuatan pada saat itu sehingga orang-orang Yahudi tidak mampu menguasai Palestina. Maka tidak ada cara lain bagi mereka untuk mengambil Palestina kecuali dengan menumbangkan khilafah islamiyah. Dan itulah yang dilakukan oleh Herzl dan para pemikir zionis dengan menyusupkan orang-orangnya ke organisasi potensial yang ada di wilayah Utsmani. Hingga akhirnya kekhilafahan itu jatuh pada tahun 1924.
Keruntuhan Daulah Utsmaniah ini menjadikan Yahudi melenggang bebas masuk ke Palestina dengan dukungan dari PBB. Tanggal 29 November 1947, PBB mengeluarkan “resolusi 181”. Resolusi tersebut berisikan pembagian tanah Palestina sebagai tanah untuk dua Negara: Negara Palestina dan Negara Yahudi dan Yerusalem menjadi wilayah Internasional. Resolusi tersebut telah disepakati oleh PBB, Uni Sofyet dan Amerika.
Sebelumnya Yahudi-Zionis hanya menempati 6,5% tanah Palestina, namun setelah muncul resolusi 181, tanah untuk Negara Yahudi menjadi 56,5%. Menyusul adanya deklarasi negara Israel pada tanggal 15 Mei 1948 M.
Keputusan Trump mengakui Yerussalem atau Al Quds sebagai ibu kota Israel menguatkan penjajahan Israel atas Palestina dan memicu konfik yang lebih luas. Pemindahan kedutaan AS ke Al Quds dan menjadikannya sebagai Ibukota Yahudi, secara jelas telah melakukan penistaan terhadap tanah suci umat Islam dan tanah wakaf milik umat Islam sampai hari kiamat.
Pengakuan bahwa Al Quds menjadi ibukota Israel adalah strategi hagemoni kota Al Quds untuk dijadikan ibukota abadi bagi Yahudi dan perampasan hak warga Palestina secara sempurna.
Apa yang telah terjadi di Palestina menunjukkan betapa lemahnya kita umat Islam dalam percaturan politik internasional. Umat ini tak mampu mempertahankan tanah air dan kota sucinya sendiri.
Dalam sejarah bisa kita lihat bahwa penguasaan terhadap tanah Palestina menjadi barometer terhadap lemah dan kuatnya umat Islam. Ketika ia dirampas oleh Yahudi, sama seperti memotong dan memisahkan umat Islam dari sejarah dan tanah sucinya.
Suara Indonesia Untuk Palestina
Aksi bermartabat 212 bagi telah memberikan banyak pencerahan bagi bangsa Indonesia. Terlepas dari pro kontra aksi ini, saya sendiri sudah merasakan betapa banyak pelajaran yang bisa diperoleh saat mengikuti aksi ini.
Aksi ini telah menjadi sebuah gambaran peradaban yang tinggi dalam menyuarakan pesan damai, menguatkan persatuan antar elemen bangsa, juga membuka mata dunia tentang kehidupan beragama di Indonesia.
Aksi bermartabat seperi ini sangat baik untuk menjadi corong rakyat Indonesia menyuarakan rasa kepedulian dan solidaritas.
Rakyat Indonesia termasuk sangat intens dalam memberikan perhatian terhadap masalah Palestina. Hal ini bisa kita lihat dengan banyaknya lembaga dan organisasi yang memberikan perhatian penuh pada permasalahan Palestina baik dari segi kajian, penggalangan dana, serta pengiriman bantuan dan relawan langsung ke Palestina.
Memberi bantuan bantuan dalam bentuk dana adalah hal yang sangat baik. Tapi itu tidak cukup. Harus ada aksi solidaritas dan dukungan moril dalam sebuah kumpulan massa.
Kenapa hal ini perlu dilakukan? Sebab perjuangan kemerdakaan Palestina tidak hanya ditempuh melalui jalur perang, tapi juga melalui jalur diplomasi dan dukungan masyarakat internasional.
Aksi solidaritas adalah bentuk dukungan moril bagi pejuang, aktifis kemerdekaan Palestina, dan juga bagi warga Palestina. Di samping telah menjadi salah satu bentuk kepedulian, edukasi umat dan juga wasilah hidayah.
Saya bahagia, Indonesia bisa ikut memberikan protes keras atas pelanggaran AS pada asas perdamaian dan keadilan sosial. Dalam konstitusi Indonesia juga sudah jelas dinyatakan bahwa penjajahan dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan apa yang dilakukan oleh Isreael terhadap Palestina jelas jelas merupakan sebuah penjajahan dan perampasan hak.
Saya sangat berharap para guru dan ulama bisa kembali memimpin umat Islam di Indonesia untuk menyuarakan rasa kepedulian dan pembelaan mereka kepada Palestina dan masjid Al Aqsa, baik dengan kembali berkumpul bersama atau mengadakan acara aksi besar-besaran di wilayah masing-masing.
Untuk membuktikan kepada rakyat Palestina kita di sana bahwa saudara –saudara mereka di sini masih peduli dengan nasib mereka.