Menjaga Keutuhan Keluarga
Umar bin Khathab terkejut bukan main.
“Ada ada denganmu? Dulu engkau adalah wanita yang taat dan penurut. Sekarang engkau telah berani mendebatku?” tanya Umar kepada istrinya.
“Apakah engkau tidak tau wahai putra Khathab, anakmu yang saat ini menjadi Istri Rasulullah, biasa mendebat suaminya, bahkan mendiamkan beliau dari pagi sampai malam”
“Benarkah?” Umar tambah terkejut lagi.
Lalu ia bersegera ke tempat putrinya, Hafshah.
“Bertakwallah kepada Allah, wahai putriku!. Apakah benar engkau mendebat Rasulullah dan mendiamkan beliau dari pagi sampai malam?” tanya Umar tidak sabar.
“Wahai ayahanda, sesungguhnya kami para istri Rasulullah biasa mendebat beliau dan mendiamkan beliau sampai malam” jawab Hafshah.
“Bertakwallah kepada Allah, wahai putriku!. Janganlah membuatmu cemburu kecintaan Rasulullah kepada madumu yang lain (Aisyah). Sungguh Rasulullah lebih mencintainya daripadamu sebagaimana beliau lebih cinta kepada ayahnya daripada cinta beliau kepada ayahmu” lalu Umar pun pergi berlalu.
Sikap istri Umar bin Khathab mulai berubah ketika mereka tinggal di kota Madinah, dan bergaul dengan wanita-wanita Anshar. Mereka adalah wanita-wanita terbaik; sebagai istri, sebagai ibu, dan juga sebagai pembelajar sejati. Rasulullah pernah memuji mereka, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Perasaan malu tidak menghalangi mereka untuk belajar”(HR. Ahmad)
Maka sejak saat itu, sikap Umar bin Khathab mulai melunak kepada istrinya. Padahal sebelumnya kata-kata adalah sabda bagi keluarga dan tidak boleh dibantah sama sekali. Kini Umar mau mendengarkan kata-kata istri, sekalipun diucapkan sambil marah sekalipun dengan suara yang melengking tinggi.
Seperti kita yang sangat masyhur tentang seseorang yang mau mengadukan sikap istrinya saat Umar menjadi khalifah. Saat ia sampai ke rumah Umar, ia melihat istri khalifah sedang memarahi suaminya, sementara suaminya duduk diam mendengarkan.
Melihat kejadian ini, laki-laki tadi segera angkat kaki. Umar bin Khathab segera berseru dan memanggil kembali, “Ada apa denganmu, anak muda? Sepertinya engkau mempunyai keperluan kepadaku?
“Benar, wahai Khalifah. Saya ingin mengadukan istri saya yang suka marah-marah kepadamu. Tapi kali ini saya melihat engkau sendiri dimarahi oleh istrimu. Maka saya tidak jadi mengadukan permasalahan ini” jawab laki-laki itu jujur.
“Wahai anak muda, ketahuilah bahwa istriku ini sudah memasakkan makanan untukku, menyusui dan menjaga anak-anakku, menyuci bajuku, dan menjaga hatiku dari hal-hal yang haram. Aku diam dan mendengarkan marahnya sebab sungguh waktu marahnya itu tak lama, hanya sebentar saja”kata Khalifah Umar yang penyayang dan gagah perkasa.
Saling Memahami Perasaan
Inilah poin penting dan utama dalam menjaga keharmonisan keluarga kita. Bagaimanapun juga sebuah keluarga akan selalu mengalami dinamika dan romantika kehidupan, seiring dengan perjalanan waktu yang mengantarkan suami dan istri kepada berbagai persoalan dan kejadian. Penuh sentuhan canda tawa dan airmata. Mengaduk-aduk perasaan menyibukkan pikiran.
Dan di saat saat tertentu, ekspresi perasaan dalam bentuk verbal menjadi sebuah kebutuhan hidup. Terutama bagi istri. Dia perlu mengungkapkan segala perasaan itu dalam bentuk kata-kata. Sebenarnya ia sedang curhat kepada suaminya, hanya saja kadang ia mengungkapnya dengan suara yang lebih keras, dengan pilihan diksi kata yang tidak biasa, diwarnai wajah yang memerah, dan disertai oleh derasnya hujan air mata.
Setelah semua tersampaikan, maka istri merasakan kenyamanan yang luar biasa. Plong rasanya. Beban hidup yang berat runtuh seketika. Dan ia pun siap menjalani aneka kegiatan kehidupan yang sesungguhnya berat. Proses meluapkan perasaan itu hanya sebentar, dan yang ia perlukan hanya orang yang mau diam mendengarkan. Harus ada orang yang bersedia untuk diam dan mendengarkan. Kalau itu bukan suami, lalu siapa lagi? Istri bisa cerita kepada tetangga, membuat status facebook, atau share kemarahannya ke grup grup whatsappnya.
Maka betapa penting diamnya seorang suami dan mendengarkan dengan saksama curhat istrinya untuk menjaga stabilitas keamanan rumah tangga.
Apalagi kalau kita sebagai suami yang salah. Terimalah masukan dari istri itu tanpa perlu ngeles dan membela diri. Minta maaflah dengan penuh kerendahan hati. Dan saat-saat istri sedang membara, genggamlah tangannya dengan erat. Sungguh saat itu ia benar-benar sedang membutuhkan sandaran.
Saya akhirnya bisa menyampaikan hal ini, setelah mendapatkan nasehat dari guru saya Ust. Mohammad Fauzil Adhim, tentang mengelola perasaan istri saat marah. Semoga Allah merahmati beliau. Sungguh saya sangat mendapatkan banyak manfaat dari “Kado Pernikahan Untuk Istriku, “Kupinang Engkau Dengan Hamdalah”, dan buku buku beliau yang lain. Juga dari sedikit pengalaman menjalani pernak-pernik keluarga.
Bila mencurahkan perasaan adalah perasaan istri, maka berdiam diri, bersunyi-sunyi, dan menyendiri untuk berfikir dan merenung, adalah bagian dari kebutuhan seorang suami. Barangkali ini menjadi bagian dari syarat kenyamanan psikologis bagi suami. Ketika ada masalah, suami akan bercerita setelah ada sedikit titik terang, sehingga sisanya bisa ikut berkontribusi dalam mencari solusi. Selebihnya, semua akan difikirkan dan direnungkan dulu sendiri.
Pola komunikasi yang baik dan saling memahami ini pada akhirnya melahirkan keluarga yang harmonis. Imam Ahmad pernah berkata, “Selama 40 tahun menikah, saya tidak pernah cekcok dengan istri. Sebab ketika istri marah, saya diam, sampai dia menyelesaikan kemarahannya. Ketika saya marah, istri pun diam. Setelah kemarahan selesai, baru kami bicarakan solusinya bersama-sama”
Pesan Allah Dalam Al Quran,
وعاشرهن بالمعروف:
“Dan pergaulilah istri-istrimu itu dengan baik”