Falsafah Ramadhan Said Nursi

Badiuzzaman Said Nursi (1876-1960) seorang ulama dan filosof muslim dari Turki. Kekuatan idealisme, petualangan keilmuan, dan pengalaman-pengalaman hidup yang ia lalui mengantarkan pada pandangan hidup yang dalam dan cemerlang, yang kemudian ia tuangkan dalam 14 jilid karyanya yang monumental; Kulliyyat Rasail Nur. Ditulis selama 35 tahun dari satu penjara ke penjara lainnya, dari satu pengasingan ke pengasingan yang lain.

Pemikirannya yang mendunia dibawa oleh para Thullabunnur. Secara rutin Istanbul Ilmi ve Kultur Vakvi mengadakan konfrensi dan simposium internasional untuk mengkaji pemikirannya ini.

Tentang ibadah puasa, Said Nursi menyatakan, sekian banyak hikmah puasa yang ada tujuannya untuk menegaskan sifat Rububiyah Allah Ta’ala, mengantarkannya ke maqam syukur, dan menguatkan kehidupan pribadi dan sosial.

Menikmati Jamuan Dzat Yang Maha Penyayang

Allah Swt., dengan sifat rahman dan rahimNya yang sempurna, telah membentangkan di muka bumi aneka nikmat untuk manusia, menyediakan segala keperluan untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Namun banyak manusia yang matanya tertutup oleh hijab kelalaian dan tirai kealpaaan. Ia tak mampu melihat nikmat itu. Ia merasa seakan-akan segalanya berjalan otomatis tanpa ada yang mengaturnya.

Di saat Ramadan, seorang mukmin diajak untuk menguatkan tauhid rububiyahnya kepada Allah, dengan menyadari bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang mengatur semesta ini. Maka karena hanya Dia yang memberi, maka seharusnya hanya kepada-Nya seorang mukmin menundukkan hati menyembah. Termasuk menahan diri untuk makan dan minum selama Ramadan.

Menjelang waktu ifthor tiba, itulah saat yang paling mendebarkan dan membahagiakan. Seorang mukmin merasa Allah mengirimkan padanya makanan dan minuman untuk berbuka. Lalu ketika azan maghrib berkumandang, seakan-akan ada sebuah seruan ilahi di lubuk hatinya yang dalam, “Silahkan menikmati jamuan yang mulia dari Dzat yang Maha Penyayang.” Allahu Akbar…!

Maka ia pun bergembira dan suka cita menerima jamuan hidangan ini. Sebelum akhirnya ia bergembira ketika berjumpa dengan Allah kelak di akhirat nanti.

Membuka Pintu Nikmat

Seorang yang terbiasa hidup dalam keberlimpahan kadang lupa bagaimana menghargai sebuah nikmat. Sekerat roti yang lembut, ayam bakar yang empuk, susu yang segar, tidak lagi menjadi sebuah karunia yang istimewa bagi orang yang setiap hari menyantapnya dan tidak pernah ada jeda untuk merasa lapar dan dahaga. Tetapi segelas air putih, sebiji kurma, sekerat roti yang keras menjadi sesuatu yang istimewa bagi orang yang berpuasa saat waktu berbuka tiba.

Maka puasa sesungguhnya adalah pembuka pintu kesyukuran yang sejati. Yang menjadikan setiap mukmin bisa menghargai setiap nikmat yang datang. Hal ini menjadikannya lebih bersyukur. Hatinya bisa terpaut kepada Dzat yang memberinya nikmat yang tak terhingga. Lalu dari kesyukuran inilah terbuka pintu nikmat lainnya.

Inilah salah satu rahasia mengapa rezeki seorang mukmin saat Bulan Ramadan jauh lebih banyak dibandingkan waktu lainnya. Sebab rasa syukur itu yang mengundang nikmat lain untuk datang.

Kesyukuran ini pula yang membuka pintu Ihsan dan ketulusan. Seorang mukmin menjadi lebih ringan hatinya dalam berbagi dengan saudara-saudaranya karena didorong oleh rasa empati, bukan karena pencitraan atau kepura-puraan. Hubungan penuh kasih sayang pun semakin menguat. Jalinan hubungan kasih sayang inilah yang menjadi perekat kuat hubungan sosial.

Pun, ketika seseorag lapar, barulah ia sadar betapa lemahnya dia. Padahal selama ini ia merasa menjadi seorang yang hebat. Seakan dia akan hidup abadi. Lalu ia mengejar segalanya dengan penuh ambisi, mengandalkan kecerdasan dan potensi yang ia miliki. Ketika lapar mendera dengan hebat, barulah terfikir betapa ia tidak bisa hidup tanpa kasih sayang Allah. Ia tidak bisa apa-apa tanpa bantuan orang lain. Kesadaran hati seperti inilah yang mahal. Yang kadang tidak mampu diberikan oleh buku dan otak yang cerdas.

Menjadi Hamba Yang Merdeka

Ketika Al Quran diturunkan dalam Bulan Ramadan, di saat orang-orang sedang berpuasa dan membersihkan dirinya, maka hendaklah menjadi pengingat bahwa agar ayat-ayat suci itu masuk ke dalam jiwa melalui hati yang bersih, dengan kondisi rohani laksana malaikat.

Ketika Ramadan kembali datang, hendaklah kita fokus tilawah Al Quran seakan-akan ayat-ayat yang mulia itu kembali turun. Kita mendengarkan lantunan ayat itu dengan kekhusyu’an yang sempurna, seakan kita mendengarkannya langsung dari Rasulullah, bahkan dari lisan Malaikat Jibril, atau bahkan langsung dari Allah Ta’ala.

Dengan demikian, saat Ramadan semesta alam ini menjadi sebuaah mesjid yang besar, yang di setiap pojok-pojoknya ada jutaan hafizh yang melantunkan kalam ilahi, tilawah Al Qur’an dengan segenap hati dan pikiran, memasuki ruang makna dan isyarat ilahiyah yang luas tak terhingga.

Maka alangkah buruknya seseorang yang mengotori masjid ini dengan makan dan minum di siang hari Ramadan, melakukan hal-hal yang terlarang, dan perbuatan –perbuatan yang tercela karena mengikuti nafsunya. Pelakunya menjadi terhina di mata dunia yang sedang khusyu dalam ibadah kepada Allah ini.

Di akhir pembahasan tentang Falsafah Ramadan di Kitab Al Maktubat ini, Said Nursi menukil sebuah hadits yang menyebutkan, bahwa setelah nafsu diciptakan, Allah bertanya kepadanya, “Siapa engkau dan siapa aku?” Nafsu menjawab, “Engkau adalah engkau, aku adalah aku” Sebuah jawaban yang menunjukkan keegoisannya.

Maka Allah pun mencampakkannya ke dalam neraka jahannam dan mengadzabnya dengan berbagai macam siksa. Setelah itu Allah bertanya lagi, “Siapa engkau dan siapa aku?” Masih saja nafsu menjawab dengan egois, “Engkau adalah engkau, aku adalah aku”

Lalu Allah membuat hawa nafsu ini kelaparan.

Di saat itu Allah bertanya kepadanya, “Siapa engkau dan siapa aku?” Maka nafsu menjawab dengan penuh ketundukan, “Engkau adalah Rabb yang Maha Pengasih, sementara aku adalah hambamu yang lemah.”

Leave A Reply

Navigate