Gegap gempita kemenangan Perang Badar membuat sebagian mereka yang tidak ikut berkata, “Kalau nanti ada perang berikutnya, kami benar-benar akan ikut berjuang dengan gagah berani”
Tapi yang terjadi ketika meletus Perang Uhud pada tahun berikutnya?
Ternyata mereka melarikan diri, bahkan tidak ikut perang sama sekali.
Maka turunlah ayat ini sebagai celaan kepada mereka yang hanya mampu bermulut manis, tapi kosong dari tindakan nyata.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Ayat ini secara khusus sebetulnya, seperti kata Imam Ash Shawi dalam Hasyiah Tafsir Jalalain, membahas tentang janji yang tidak ditepati dan sumpah palsu.
Namun secara umum, seperti kata Syekh As Sa’di, bermakna:
لم تقولون الخير وتحثون عليه، وربما تمدحتم به وأنتم لا تفعلونه،
وتنهون عن الشر وربما نزهتم أنفسكم عنه، وأنتم متلوثون به ومتصفون به
Mengapa kalian menganjurkan kebaikan bahkan memuji-mujinya, padahal kalian tidak melakukannya.
Kalian melarang orang melakukan keburukan, kalian sok suci dari keburukan itu, padahal kalian melakukannya dan memiliki karakter buruk itu.
Bersabar Menjaga Kata
Dalam hal ini, rasanya kita perlu lebih bersabar lagi dalam menjaga kata.
Di saat bahagia, kata kata yang berisi janji-janji indah mudah sekali keluar begitu saja.
Di saat marah atau duka, yang mudah terlontar adalah celaan dan sumpah serapan.
Padahal saat marah, bahagia, dan kapan saja, kita punya kewajiban mengontrol kata-kata.
Sekali kali kata itu terlontar, maka sudah ada kewajiban yang mengikat untuk menunaikan kata-kata itu sampai tuntas
Walaupun kata itu mungkin sangat singkat, baik tertulis maupun terucap.
Seperti kata Ya, Siap, Sip, Insya Allah, Oke, dan seterusnya. Atau bahkan hanya berupa anggukan dan emoticon jempol yang menunjukkan setuju dengan pernyataan dan permintaan.
Pada setiap kata yang keluar itu ada konsekwensi masing-masing. Terutama bagi mereka yang terlanjur berharap, terlebih dari mereka yang menjadi sumber harapan banyak orang, seperti orang tua, guru, pemerintah, dan para tokoh masyarakat.
Kata yang terucap harus kita kawal sampai tuntas, penuh kesabaran menjaga integritas diri, agar sampai jatuh dalam kubang kemunafikan.
Seorang sastrawan arab pernah berkata:
وإن قلت نعم فاصبر لها # بنجاز الوعد إن الخلف ذم
Apabila engkau sudah berkata “Ya”maka bersabarlah atasnya,
dengan memenuhi janji itu. Sungguh melanggar janji itu tercela
Ayat kedua Surat Ash Shaff ini seakan memberi peringatan: Wahai orang yang beriman kepada Allah, meyakini bahwa Allah melihat dan menyaksikan semua perkataan dan gerak gerikmu, mengapa engkau berkata-kata dan menjanjikan sesuatu yang sebetulnya tidak kamu lakukan?
Contoh Teladan
Seorang ibu pernah memanggil anaknya, “Nak, kesini! Ibu akan memberimu sesuatu”
Rasulullah langsung menoleh kepada ibu tersebut, “Apa yang akan engkau beri untuknya?”
“Kurma Ya Rasulallah. Aku akan memberinya Kurma,” jawab ibu tersebut
“Sungguh, jika engkau tidak memberinya sesuatu, engkau telah berbohong”
Perkara yang kelihatan sederhana ini tidak luput dari Rasulullah.
Menyiratkan pesan: jangan sampai anak belajar tidak jujur justru dari orang tuanya sendiri.
Padahal seharusnya kata-kata ibu dan ayah menjadi penentram hati anak yang sesungguhnya, memberikan keberanian dan keyakinan dalam hidupnya.
Kata-kata itu yang seharusnya menjadi pegangan dan penguat hati anak dalam melakukan sesuatu atau mau mengambil keputusan.
“Bahwa ketika ibu sudah berjanji akan memberiku hadiah setelah berhasil menyelesaikan tugas ini, aku pasti akan benar-benar mendapatkannya. Sebab ibu selalu menepati janjinya keadaan apa pun.”
“Kalau hari ini ayah bilang akan datang, aku yakin pasti ayah benar-benar datang. Sebab ayah sangat memegang kata-katanya.”
Kata-kata ayah dan ibu mempunyai nilai yang tinggi di hati anak seperti ini, tentu akan sangat berpengaruh bagi kesehatan mentalnya.
Sangat jauh berbeda dengan anak yang selalu mendapatkan janji-janji manis dari orang tuanya, sementara di dalam hati anak berbisik, “beneran gak nih?” atau bahkan, “ah gak percaya. yang dulu saja belum dipenuhi”
Hilang wibawa ayah depan anaknya, keanggunan ibu di hadapan putra-putrinya, saat putra putrinya tak lagi percaya.
Demikian pula dalam kehidupan sosial.
Apalagi yang diharapkan dari seorang pemimpin yang terlanjur dikenal rakyat sebagai pembohong?
Apalagi yang diharapkan dari seorang tokoh yang sudah termasyhur di masyarakat sebagai pendusta?
Ayat kedua Surat Ash Shaff ini seakan memberi peringatan: Wahai orang yang beriman kepada Allah, meyakini bahwa Allah melihat dan menyaksikan semua perkataan dan gerak gerikmu, apakah pantas engkau mengingkari kata-katamu dengan perbuatanmu yang bertolak belakang dari apa yang engkau ucapkan?
Sudah sejauh mana komitmen kita menjaga kata-kata?
Dalam bulan mulia ini, kita punya banyak kesempatan untuk mengevaluasi dan memperbaiki diri
====
duakhalifah.com