Menjaga Hafalan Seusai Setoran

Setelah mengerahkan seluruh pikiran, perasaan, waktu, dan kemampuan untuk menyelesaikan setoran hafalan dengan qiraat, bagaimana cara menjaganya agar jangan sampai hilang?

Itulah yang saya tanyakan kepada Syekh Abdul Hamid pagi tadi seusai shalat shubuh.

Saya teman teman penasaran. Kekuatan hafalan Al Qur’an beliau membuat kami menahan nafas. Ditambah hafalan ribuan bait matan kitab Syathibiyah, Thaibah, Durrah, dan lainnya.

Apalagi ketika beliau menjelaskan tentang sejarah mushaf, variasi ragam bacaan dan jalur jalur periwayatan Qira’at dari Syathibiyah, Thaibah, Durrah, Ar Raudhah, Al Misbah, lengkap dengan syahid dari matan dan kutipan kata-kata pakar Qiraat dari berbagai kitab.

Kami hanya bisa geleng-geleng kepala. Sebagian bahkan ada yang lupa menutup mulutnya yang ternganga.

Kagum, itu yang pertama. Sebab hafalan beliau yang kuat dan teliti.

Senang, itu yang kedua. Sebab selama duduk dengan beliau terasa ada ilmu yang bertambah, dan sikap beliau yang bersahabat.

Takut dan segan, itu yang ketiga. Sebab beliau tidak mentolerir satu kesalahan pun dalam hafalan dan bacaan. Semua harus lancar dan benar.

Suaranya keras dan tegas saat mengingatkan kesalahan bacaan dan tajwid itu.

Akibatnya : persiapan harus serius.

Dalam tiga kondisi psikologis itu: Kagum, Senang, dan Segan kami melewati masa masa belajar bersama Syekh Abdul Hamid.

Terkait dengan pertanyaan tadi, beliau menegaskan bahwa memang kekuatan hafalan itu tidak datang dengan sekali khatam, tapi harus berkali-kali.

Selesai setoran bukan jaminan itqan, tetap harus ada pengulangan demi pengulangan.

Untuk mendapatkan hafalan yang kuat, ada beberapa hal yang perlu dilakukan.

Pertama, Tilawah.

Caranya dengan membaca dari Mushaf khusus qiraat tersebut. Seperti Mushaf Syu’bah, Mushaf Ibnu Katsir, Mushaf Abu Ja’far, dan seterusnya.

Baca dengan fokus, sampai kalimat kalimat dengan qiraat yang berbeda dengan riwayat Hafs itu tampak jelas di depan mata.

Tetapkan standar tilawah harian. Misalnya 3 juz perhari. Segera mulai sampai khatam. Kemudian mulai lagi lagi dari awal.

Kedua, baca dalam shalat.
Siapkan hafalannya terlebih dahulu, kemudian baca ayat ayat tersebut dalam shalat.

Kita menghafal Al-Qur’an tujuannya untuk dibaca dalam shalat.

Bacalah dalam shalat lima waktu, shalat tahajjud, Dhuha, rawatib, atau shalat Sunnah lainnya.

Jangan sampai setiap shalat hanya baca surat surat pendek. Jangan. Tapi khatamkan Al Qur’an di dalam shalat.

Tidak masalah khatam dalam waktu 6 bulan atau setahun atau berapa pun. Tetapi program ini harus berjalan.

Ketiga, mengajar Tahfiz
Inilah metode sangat jitu dalam menguatkan hafalan.

Caranya: siapkan diri terlebih dahulu sebelum menerima setoran.

Murojaah ayat-ayat yang akan disetorkan santri. Lengkap dengan kalimat dan hukum hukum tajwid terkait.

Jangan sampai menyimak setoran sambil buka mushaf. Jangan. Guru harus jadi teladan murid dalam kekuatan hafalan.

Jadi guru harus kuat. Kuat hafalan, kuasai materi, paham metode. Itulah yang akan melahirkan murid yang kuat.

Guru yang lemah akan melahirkan murid-murid yang lemah. Lalu generasi berikutnya akan belajar dari murid-murid yang lemah itu sehingga mereka pun menjadi lemah.

Maka jadi guru Qur’an hafalan harus kuat. Bacaan harus bagus. Disiplin dalam proses. Tegas dalam aturan. Dengan tetap berusaha memahami kondisi psikologis santri, dan jangan biarkan dia sesuka hati.

Kalau guru tidak mengatur muridnya, maka murid yang akan mengatur atur gurunya. Dan tentunya itu tidak baik dalam proses pendidikan.

Teladan pribadi guru, itulah investasi terbesar dalam proses pendidikan.

Leave A Reply

Navigate