Entah berapa kali saya terhenti menulis, dan akhirnya tidak menulis sama sekali karena kalimat-kalimat ini:
Kuno
Tulisannya kok masih kayak gini. Masih seperti 5-10 tahun lalu. Tidak ada per
kembangan. Modelnya kuno, gayanya klise. Isinya itu-itu saja. Mendingan tidak usah menulis.
Tidak Layak
Masa mahasiswa S3 tulisannya seperti ini? Kayak tulisan anak anak lebay SMA.
Ustadz kok menulis seperti ini? Malu kalau dilihat santri.
Tidak level!
Jadi? Ya, tidak usah menulis saja.
Tidak Laku
Tulisan seperti ini siapa yang mau baca? Kalau pun ada, tidak akan sebanyak pembaca tulisan Ust Salim Fillah, Felix Siauw, atau penulis-penulis lain, yang sekali menulis langsung disambut ratusan ribu pembaca.
Tulisan seperti ini tidak akan laku. Daripada capek-capek, mendingan tidak usah menulis.
Tidak Ada Waktu
Hanya ada setengah jam. Mendingan melakukan yang lain. Tidak usah menulis. Untung kalau selesai, paling-paling putus di tengah jalan dan ngeblank.
Belum lagi mengedit dan memposting. Sudah banyak waktu yang habis. Jadi? Tidak usah menulis.
Mau posting dimana?
Terlalu banyak media. Mau posting di facebook? Siapa yang baca disana?
Mau posting di intagram seperti orang-orang? terlalu sedikit followersnya.
Mau nulis di web pribadi seperti Dahlan Iskan? belum populer. Mana ada yang mau membagikan
Di Whatshap? Ah tulisan seperti ini mana pantas.
Jadi? Ya tidak usah menulis.
Emha Ainun Najib dan Ali Thanthawi
Kedua tokoh ini adalah penulis idola saya. Yang mengherankan dari Emha, mau menulis dimanapun dia, tulisannya bisa sampai ke saya melalui banyak jalur periwayatan. Ada melalui FB, whatshap, instagram, ataupun link website.
Sementara Syekh Ali Thanthawi, allahu yarham, tulisan lepas beliau sudah ribuan jumlahnya. Dan ketika dibukukan, jadi berjilid-jilid.
Sama seperti Ibnul Jauzi, renungan pemikiran dan lintasan perasaan beliau yang tertuang dalam Shaidul Khathir dibaca dan ditelaah orang di seluruh dunia sampai sekarang.
Terlepas dari isinya kontroversial, Ahmad Wahib dan So Hok Gie boleh berbangga, ternyata catatan harian keduanya dibaca oleh banyak orang dan menjadi terkenal justru setelah keduanya meninggal.
Ketulusan
Ya hanya ketulusan yang bisa membuat seorang penulis bisa bertahan. Kalau hanya berpikir uang, kata Prof. Faisal Ismail, jumlahnya mungkin tidak seberapa. Tapi yang paling penting adalah idealisme. Yaitu bagaimana ide-ide itu menyebar dan dibaca banyak orang.
Saya pun memeriksa di kedalaman hati; untuk apa saya menulis. Motivasi terindah yang saya dapatkan, bahwa menulis bisa menjadi sarana untuk bahagia dan membahagiakan orang lain.
Diri bahagia menuangkan pikiran dan perasaan, dan orang lain bahagia membaca yang saya tuliskan, cukuplah itu menjadi alasan untuk tidak berhenti menulis.
Apalagi bila mengingat bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian…