Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam tiba di Madinah dan singgah di Bani An Najjar pada hari Jumat, tanggal 12 Rabiul Awal 1 H, bertepatan tanggal 27 September 622 M. Beliau berhenti di depan rumah Abu Ayyub, lalu berkata, “Di sinilah tempat singgah, Insya Allah.” Kemudian beliau menetap di rumah Abu Ayyub radhiallahu anhu.
Corak Masyarakat Madinah
Syekh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri menyatakan bahwa masyarakat yang dihadapi oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam pada saat awal mula hijrah di Madinah dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: para sahabat yang suci, mulia, dan baik; orang-orang musyrik yang tidak beriman sama sekali yang berasal dari berbagai kabilah di Madinah; dan orang-orang Yahudi.
Keadaan seperti ini tidak pernah beliau hadapi ketika di Makkah. Kondisi antara kelompok yang satu dengan yang lain sangat berbeda. Imbasnya memunculkan permasalahan yang sangat rumit dan bermacam-macam.
Kelompok sahabat terdiri dari dua macam; satu kelompok hidup di tanah kelahirannya, di rumahnya, dan dengan harta bendanya. Tidak banyak yang mereka butuhkan selain jaminan keamanan bagi kelompoknya. Mereka adalah kaum Anshar. Masalah yang mengakar diantara mereka adalah benih permusuhan yang telah tertanam antara suku Aus dan Khazraj.
Kelompok kedua adalah orang-orang Muhajirin. Mereka tidak memiliki tempat untuk berteduh, pekerjaan yang tetap untuk mencukupi kebutuhan hidup, bahkan tidak memiliki harta sama sekali. Padahal, Madinah bukan termasuk daerah yang memiliki kekayaan melimpah. Kondisi ekonomi pun labil dan tidak menentu. Sementara pada saat itu, seluruh kekuatan yang memusuhi Islam memboikot hubungan ekonomi sehingga pemasukan dari luar semakin menipis.
Selain kelompok sahabat, Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam menghadapi orang-orang musyrik yang menetap di beberapa kabilah Madinah. Diantara mereka ada yang menyimpan dendam permusuhan kepada Rasulullah dan para sahabat, tetapi mereka tidak menampakkan hal tersebut secara langsung. Diantara mereka bahkan ada yang menampilkkan wajah rela, cinta, dan kemurahan karena berbagai pertimbangan. Seperti Abdullah bin Ubay bin Salul dan kelompoknya.
Rasulullah juga harus berhadapan dengan orang-orang Yahudi. Mereka terus memelihara rasa fanatisme mereka sebagai orang Yahudi dan tidak mencair total dengan bangsa Arab. Bahkan mereka berbangga diri dengan predikat mereka sebagai Bani Israil, dan meremehkan orang-orang Arab dengan merendahkan dan menghina.
Orang-orang Yahudi terampil dalam mencari sumber penghidupan dan mata pencaharian. Mereka menguasai pasar dan menerapkan sistem riba. Mereka suka memberi pinjaman dan mengambil lahan serta tanah sebagai jaminan. Setelah masa pelunasan habis dan hutang tidak terbayar, mereka mengambil tahan dan lahan untuk menjadi milik mereka.
Mereka juga dikenal sebagai kaum yang suka menyebarkan desas desus, konspirasi jahat, dan kerusakan. Mereka menebar benih permusuhan di antara kabilah-kabilah bangsa Arab yang berdekatan dengan mereka. Mereka angkuh, licik, suka bersekongkol, dan mengadu domba dengan akal bulus, sehingga orang-orang Arab termakan amarah. Tanpa disadari, kabilah-kabilah tersebut saling berperang. Lalu mereka duduk dengan tenang menyaksikan peperangan sebagai buah kedengkian yang mereka tebarkan.
Inilah beberapa masalah yang dihadapi oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam ketika tiba di Madinah. Beliau menuntaskan itu semua dengan kapasitas beliau sebagai Rasul, pengajar, pembimbing, sekaligus komandan pasukan. Beliau membangung sistem dan menjalankan roda kepemimpinan sebagai seorang negarawan yang handal
Piagam Madinah
Salah satu langkah penting yang diambil oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam adalah dengan mengikat perjanjian dan sumpah setia dengan seluruh kelompok yang ada, dan dikemudian hari dikenal dengan Piagam Madinah.
Piagam ini terdiri dari 47 pasal yang meliputi hal-hal berikut:
- Sesungguhnya mereka satu umat (bangsa dan negara), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) komunitas manusia lainnya.
- Kaum Muhajirin dari Quraisy (tetap mempunyai hak) sesuai keadaan dan kebiasaan mereka, saling menanggung serta membayar diat di antara mereka, dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara orang-orang mukmin
- Orang mukmin tidak boleh meninggalkan tanggungjawabnya terhadap agama dan keluarga di antara mereka. Hendaknya dia memberikannya dengan cara yang baik dalam membayar tebusan atau membebaskan tawanan
- Orang-orang mukmin yang bertakwa harus melawan orang yang berbuat zalim, berbuat jahat, dan kerusakan di antara mereka sendiri
- Mereka harus melawan hal seperti itu secara bersama-sama, walaupun dia adalah anaknya sendiri
- Seorang mukmin tidak boleh membunuh seorang mukmin yang lain demi membela orang kafir dan mengabaikan orang mukmin lainnya.
- Seorang mukmin tidak boleh menolong orang kafir dan mengabaikan mukmin lainnya
- Jaminan Allah adalah satu, orang yang paling lemah sekali pun berhak memberikan hal perlindungan
- Jika ada orang Yahudi yang mengikuti kita, maka mereka berhak mendapatkan pertolongan dan permasaan hak, tidak boleh dizalimi dan ditelantarkan.
- Perdamaian rang-orang mukmin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh melakukan perdamaian sendiri sementara mukmin yang lainnya tengah berperang di jalan Allah. Mereka harus sama dan adil.
- Mukmin satu dengan mukmin yang lainnya harus saling melindungi di Jalan Allah.
- Orang musyrik tidak boleh melindungi harta dan diri orang Quraisy, serta tidak boleh merintangi orang-orang mukmin.
- Siapa pun yang membunuh orang mukmin yang tidak bersalah, dia harus mendapat hukuman yang setimpal, kecuali jika wali orang yang terbunuh merelakannya
- Semua orang mukmin harus membelanya, tidak boleh hanya berpangku tangan saja.
- Orang mukmin tidak boleh menampung dan membantu orang jahat. Barangsiapa yang melakukannya, dia akan mendapat laknat dan kemurkaan Allah pada hari kiamat dan tidak ada tebusan yang bisa diterima
- Perkara apa pun yang mereka perselisihkan harus dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah–Nya
Hak dan Kewajiban Warga Madinah
- Hak Hidup
Hak asasi manusia yang paling utama adalah hak untuk hidup. Karena pentingnya hak hidup ini, maka Islam mengaturnya dengan memberikan perlindungan hukum dengan sebaik-baiknya.
Dalam Pasal 4 Piagam Madinah, tercantum dengan tegas larangan pembunuhan terhadap orang mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang muslim. Larangan tersebut bukan hanya sekedar larangan, melainkan disertai sanksi dengan ancaman pidana mati, kecuali wali di terbunuh rela menerima diat.
- Hak Kemerdekaan Beragama
Dalam Pasal 25 disebutkan dengan jelas:
“Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka kecuali orang-orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau khianat, karena sesungguhnya orang yang demikian hanya akan mencelakakan diri dan keluarganya”
Pasal ini menegaskan dan diperoleh kesimpulan bahwa masing-masing golongan yang bersatu sebagai peserta dari piagam madinah bebas dan merdeka memeluk agama mereka.
Selain kepada Bani Auf, kemerdekaan atau kebebasan memeluk agama diberikan juga kepara Yahudi Bani An Najjar (Pasal 26), Yahudi Bani Al Harits (Pasal 27), Yahudi Bani Sa’idah (Pasal 28), Yahudi Bani Jusyam (Pasal 29), Yahudi Bani Aus (Pasal 30), Yahudi Bani Tsa’labah (Pasal 31), Yahudi Bani Jafnah (Pasal 32), Yahudi Bani Syatibah (Pasal 33), sekutu-kutu Tsa’labah (Pasal 34), kerabat Yahudi di luar kota Madinah sama memperoleh perlakuan seperti orang Yahudi (Pasal 33).
- Hak Perlindungan Keamanan
Adanya kebebasan yang diberikan kepada penduduk Madinah, diatur oleh batasan-batasan yang harus dipatuhi. Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam tidak pernah memberikan ruang dan kesempatan melakukan kezaliman dan pengkhianatan.
Dalam Piagam Madinah pasal 47 disebutkan, “Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan berkhianat . Orang yang keluar (terjamin) kemanannya, orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat”
Penegakan hukum tanpa pandang bulu ini pernah ditegakkan oleh Rasulullah terhadap Bani Qainuqa yang melakukan tindakan permusuhan terhadap umat Islam.
Penghinaan mereka terhadap seorang muslimah dan membunuh orang-orang muslim yang membelanya dianggap sebagai bentuk pelanggaran mereka terhadap perjanjian yang disetujui bersama Rasulullah, yaitu Piagam Madinah.
Beliau sendiri yang memimpin pengepungan secara ketat terhadap Yahudi Bani Qainuqa yang bertahan dalam benteng mereka. Setelah 15 hari dan 15 malam terkepung, Bani Qainuqa akhirnya menyerah dan diusir ke keluar dari Madinah.
Penegakan supremasi hukum secara tegas seperti ini mengokohkan kewibawaan negara, menentramkan keadaan, membebaskan dari perasaan takut, dan memberilan perlindungan hukum yang tegas kepada warga.
- Kewajiban Membela Negara
Dalam Piagam Madinah Pasal 44 dan 45 disebutkan, bahwa semua warga, muslim maupun kafir, harus bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.
“Apabila mereka diajak berdamai, dan pihak lawan memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.”
Pasal ini menetapkan bahwa di antara para warga negara Madinah harus bekerjasama, tolong menolong, untuk menghadapi orang yang menyerang kota Yatsrib.
Adanya solidaritas yang kuat dan persatuan yang kokoh, telah menyelamatkan eksisten Negara Madinah dari rongrongan musuh, bahkan menjadi negara yang kuat mengalahkan dua negara adidaya waktu itu yaitu Romawi Timur dan Persia.
Solidaritas dan persatuan seperti ini juga yang dulu dilakukan oleh Bangsa Indonesia dalam Perang Kemerdekaan melawan penjajah Belanda yaitu perlawanan seluruh Bangsa Indonesia, yaitu yang dikenal dengan doktrin pertahanan keamanan rakyat semesta (Hankamrata).
Orang-orang yang terbunuh dalam melaksanakan kewajiban membela negara ini akan dikenang sebagai kusuma bangsa, dan dalam Islam sebagai syahid.
Orang-orang muslim maupun kafir hidup tenang dan tentram di bawah kepemimpinan Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam. Sebagai pemimpinan negara, beliau menegakkan keadilan dan tidak segan-segan menegakkan hukum bagi pelaku kejahatan.
Rasulullah telah berhasil meletakkan pondasi pembentukan masyarakat yang baru. Sebuah tatanan masyarakat yang mulia da mengagumkan sepanjang sejarah manusia.