Diantara dua masa lemah, Allah hadirkan satu masa kuat; dengan kemampuan dan kemungkinan tak terbatas. Unlimited. Itulah masa muda.
Hanya anak muda yang mampu melakukan hal hal yang hebat dan luar biasa. Atau pun kalau ada seorang tua yang mencapai sebuah prestasi yang hebat, pasti dia sudah memulai melangkah sejak masih muda.
Kalau dulu para sahabat berjuang bersama Rasulullah dengan sepenuh kekuaatan yang mereka miliki, maka kita juga melihat bahwa deretan pahlawan Indonesia terdiri dari pemuda-pemuda yang hebat dan perkasa.
Salah satunya adalah Panglima Jenderal Sudirman yang gilang gemilang di usia muda.
Selama ini saya berfikir, Jenderal Sudirman pasti sudah tua dan berumur saat menjadi panglima. Ternyata anggapan itu salah.
Pak Dirman sudah diangkat menjadi panglima saat berusia 29 tahun, dengan tugas besar mengatur personel tentara dan laskar berjumlah ratusan ribu, menyiapkan struktur organisasi tentara modern, menyiapkan armada perang menghadapi Belanda dan Inggris, memimpin perang gerilya di hutan, gunung, sungai, dan desa, juga mengkonsolidasikan kekuatan tentara kekuatan tentara dan milisi lokal yang terserak di seluruh nusantara.
Rentang masa hidup beliau sangat singkat, hanya 34 tahun 5 hari. Lahir 24 Januari 1916, wafat 29 Januari 1950. Saat wafat, beliau meninggalkan 7 orang putra putri. Yang paling besar berusia 12 tahun, paling kecil 9 bulan.
Dalam masa yang singkat itu beliau menggoreskan teladan yang luar biasa sebagai tentara di sanubari rakyat Indoesia.
Gelora Yang Membakar
Beliau berumur panjang dalam masa hidup yang singkat. Prinsip-prinsip hidup beliau menjadi inspirasi bagi generasi muda, bahwa anak-anak muda harus mempersiapkan diri untuk menerima estafet perjuangan dan kepemimpinan.
Rangkaian kehidupan beliau menyampaikan pesan nasionalisme dan kesediaan berkorban untuk menunaikan tanggungjawab. Tak pernah rela untuk dijajah walau hanya sejengkal. “Yang sakit itu Sudirman, sedangkan Panglima Besar tidak pernah sakit” ungkapnya. Dan beliau terus berjuang tak mengenal lelah walau harus dibawa di atas tandu.
Jenderal Soedirman menjadi figur yang sangat penting dalam sejarah Republik Indonesia. Karakter kepemimpinan, sikap patriotisme, dan semangat bela negaranya, menyatu dalam jalannya sejarah revolusi Indonesia.
Ketika tanggal 19 Desember 1948 pasukan Belanda menyerang dan menduduki ibukota RI serta menawan Presiden dan Wakil Presiden, Pak Dirman dalam keadaan sakit dengan paru-paru tinggal sebelah. Dalam kondisi itu ia menghadap Presiden Soekarno dan melaporkan bahwa pasukan TNI sudah siap melakukan melaksanakan rencana melakukan perang gerilya.
Pak Dirman terkejut menerima perintah dari presiden agar beliau tetap tinggal di kota untuk dirawat sakitnya. Panglima Soedirman menjawab tawaran presiden dengan kata-kata yang terkenal, ”Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan.”
Pada hari itu juga Jenderal Soedirman meninggalkan Yogyakarta dan mulai mengadakan perlawanan gerilya selama kurang lebih tujuh bulan lamanya dengan jarak tempuh gerilya sejauh 1010 km pada Agresi Militer Belanda II.
Dengan ditandu, Pak Dirman melakukan perlawanan secara gerilya naik turun gunung dan masuk keluar hutan, serta berpindah-pindah tempat. Tidak jarang Pak Dirman mengalami kekurangan makanan selama berhari-hari.
Selain dari kepemimpinan dan perjuangaannya yang hebat, kebesaran jiwa Jenderal Soedirman dapat kita lihat dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1948 di Yogyakarta :
“Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasadku ini tetapi jiwaku yang dilindungi Benteng Sang Merah Putih akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapapun lawan yang aku hadapi.
Kalimat Proklamasi menggugat kita, menagih janji kita sekalian, menuntut pemenuhannya sumpah yang kita ikrarkan, hendaknya mempertahankan habis-habisan isi dan jiwa Proklamasi. Percuma kita memperingati kebesaran Proklamsi itu kalau UndangUndang Dasar Negara kita dicemarkan mentah-mentah oleh lain bangsa, kalau kesucian Sang Merah Putih dinodai oleh lain bangsa.
Kita sebagai prajurit pertama-tama yang harus serentak bangkit, berdiri, maju menyediakan tercabutnya nyawa dari badan! Disanalah tempat istirahatnya saudara-saudara kita, yang telah mendahului kita karena gugur dalam perjuangan menentang bahaya yang hendak merobohkan Sang Merah Putih. Mereka menebus perjuangannya dengan jiwa mereka, karena yakin lebih baik hancur lebur daripada Sang Merah Putih yang gugur.
Isilah mulai sekarang jiwa kita dengan jiwa Proklamasi, dengan jiwa Sang Merah Putih, maka Insya Allah akan lebur segala halangan yang berani merintangi jalannya kita. Jalan menuju Indonesia Raya Merdeka dan Berdaulat.”
Rahasia Kekuatan
Setelah mengkaji sejarah Jenderal Soedirman secara singkat di Majalah Senakatha No. 42 Oktober 2016 terbitan Pusat Sejarah TNI, saya mendapatkan paling tidak ada tiga yang menjadi sumber kekuatan beliau, yaitu: pendidikan, keimanan, dan istri.
Sebagai anak desa, setiap sore Soedirman berangkat ke surau atau langgar untuk belajar membaca Al Quran dan pengetahuan agama islam lainnya.
Ketika dewasa, Soedirman aktif di bidang kepemudaan dan kepanduan Muhammad, atau yang terkenal dengan nama Hizboel Wathan di Cilacap. Di lingkungan HW dan Pemuda Muhammadiyah, ketaqwaan, kedisiplinan, kerja keras, tanggungjawab, dan jiwa kepemimpinnya semakin berkembang.
Soedirman juga pernah menjadi pendidik di HIS Muhammadiyah. Dengan kemampuannya, Soedirman menjadi guru yang baik, bahkan terpilih sebagai kepala sekolah di HIS MUhammadiyah Cilacap.
Berkat aktivitasnya yang menonjol dan keluasan pemahamannya tentang agama Islam serta kesantunannya, menjadikan Soedirman semakin disegani, tidak hanya di lingkungan pemuda Muhammadiyah, tetapi juga di lingkungan masyarakat umumnya. Karena kualitas ketokohannya tersebut, Soedirman dipercaya sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah (WMPM) wilayah Banyumas, dan kemudian diangkat sebagai WMPM wilayah Jawa Tengah.
Setelah menjadi Panglima Besar, ia tetap menjadi pemimpim muslim yang shaleh. Selain menjaga shalat lima waktu berjamaah, Soedirman juga sering menunaikan Qiyamul-lail dan puasa sunnah. Jenderal Soedirman selalu taat menjalankan ibadah- ibadahnya, bahkan dalam keadaan yang sangat berbahaya bagi jiwanya.
Dalam perang gerilya di daerah selatan Yogya, Jenderal Soedirman tetap menjaga shalatnya, bahkan shaalat malamnya. Bahkan tak jarang beliau juga berpuasa Senin-Kamis.
Di setiap kampung yang disinggahinya saat bergerilya , beliau selalu mendirikan pengajian dan memberikan ceramah keagamaan kepada pasukannya. Jenderal Soedirman telah menempatkan iman sebagai kekuatan dalam perjuangannya
Rahasia kekuaatan Panglima Soedirman berikutnya ada pada Siti Alfiah, istrinya yang setia. Sebagai istri seorang Panglima Besar, meski tidak ikut terjun langsung di medan perang, namun ia mendorong tugas-tugas suaminya agar mencapai keberhasilan. Di saat Jenderal Soedirman berpamitan kepadanya dan keluarga untuk pergi bergerilya, dengan diliputi oleh perasaan haru, Ibu Siti Alfiah sekeluarga melepas keberangkatan Jenderal Soedirman keluar kota dalam keadaan kesehatan yang memprihatinkan dan tanpa membawa obat-obatan yang cukup.
Dengan kepasrahannya sebagai seorang istri Panglima Besar ia senantiasa berdoa untuk keselamatan suami dan ketujuh anak-anaknya yang masih kecil-kecil saat ditinggal suaminya bergerilya.
Dalam masa muda dan kuat ini, penting bagi kita mengikuti jejak langkah pejuang seperti Panglima Soedirman. Di usia muda, sungguh kemampuan dan kesempatan kita tidak terhingga.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَابٌ
Dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Kami ikut berperang bersama Rasûlullâh padahal saat itu kami masih muda [HR. Ahmad]