عن عِمْرَانَ بن الحُصَينِ رضي الله عنهما: أنَّ النبيّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَّمَ أبَاهُ حُصَيْناً كَلِمَتَيْنِ يَدْعُو بهما: «اللَّهُمَّ ألْهِمْني رُشْدِي، وأعِذْنِي مِنْ شَرِّ نَفْسي» . رواه الترمذي، وقال: (حَدِيثٌ حَسَنٌ)
Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada bapaknya, Hushain, dua kalimat doa, “Ya Allah ilhamkanlah kepadaku kecerdasan, dan lindungi aku dari kejahatan nafsuku” (Hadits Hasan Riwayat At-Tirmidzi)
Ar Rasyidun. Itulah yang saya maksudkan dalam tulisan ini. Saya belum mendapati padanan kata yang tepat dalam Bahasa Indonesia. Dalam kamus Al Muhith, Ibnu Faris menyatakan Ar Rusyd adalah lawan dari dari Al-Baghyu. Sementara Al Baghyu itu artinya kebodohan disebabkan oleh hati yang rusak. Ar-Rusyd juga berarti tetap sasaran. Demikian juga yang di sebutkan oleh Ibnu Manzhur dalam Kitab Lisanul Arab dan Az Zamakhsyari dalam Al Kasyaf. Dalam terminologi Al Quran, Ar Rusyd berarti cukup usia, cerdas, beriman, mendapat hidayah, shaleh, dan tepat sasaran. Seseorang disebut “Rasyid” apabila di dalam dirinnya terdapat keshalehan, keimanan, petunjuk, dan kecerdasan, sehingga tindakan dan gerak-geriknya selalu tepat sasaran dan mengikuti jalan yang lurus.
Bagaimana sifat-sifat mereka?
Dalam surah Al Hujurat disebutkan:
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الأمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al Hujurat: 7)
Cinta Keimanan
Inilah tanda kecerdasan yang pertama. Orang-orang cerdas itu digerakkan oleh energi cinta yang sangat dahsyat sehingga segala hal di jalan cinta itu menjadi menyenangkan. Mereka cinta kepada Allah, cinta kepada Rasulullah, dan cinta kepada kebenaran yang Dia turunkan, yaitu Islam.
Mereka telah menikmati manisnya iman, maka mereka tidak mau menukarnya dengan apapun juga, dan mereka berusaha mambagikan kenikmatan yang telah mereka rasakan itu kepada orang lain, seluas-luasnya.
Rasa cinta ini yang membuat mereka berada dalam bimbingan cahaya Allah, memiliki kekuatan yang menuntunnya untuk fokus pada orintasi hidup, menjadi denyut nadi yang menghubungkan mereka dengan alam semesta ciptaan Allah, dan menjadi telaga yang memberikan mereka kekuatan dan keberanian mereka dalam pertarungan hidup.
Rasa cinta ini yang membuat mereka mencintai kebenaran, menunjung tinggi kebenaran, sekaligus meletakkannya di atas segala kepentingan pribadi, memenangkannya atas egoisme dan syahwatnya. Rasa ini membuat mereka mampu bersikap jujur kepada Allah, kepada diri sendiri, dan kepada orang lain. Rasa cintalah yang membawa mereka pada kekuatan tekad dan keberanian mengatakan sesuatu yang mereka yakini kebenarannya.
Orang-orang yang mencintai keimanan selalu bersedia kembali kepada kebenaran, bertaubat, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka. Mereka tidak memanjakan syahwat penyimpangan dalam diri mereka, atau mengikuti tuntutan keangkuhan, atau terbawa dorongan dendam dan dengki.
Keindahan cinta ini bisa kita lihat dalam pribadi sahabat-sahabat Rasulullah, terutama empat Khulafa Rasyidin. Kekuatan cinta telah menjadikan mereka pribadi-pribadi yang hebat dan luar biasa. Setiap orang dari mereka, kata Umar bin Khathab, setara dengan seribu laki-laki.
Dari Abu Bakar kita belajar kekuatan tekad sekaligus ketawadhuan hati. Saat terjadi pemurtadan sepeninggal Rasulullah, para sahabat banyak yang menolak untuk memberangkatkan pasukan Usamah bin Zaid, tapi Abu Bakar bersikeras untuk tetap memberangkatkan pasukan dan dan juga memerangi orang-orang yang murtad. Beliau bahkan berkata, “Seandainya tidak ada yang mau berangkat, aku sendirilah yang akan pergi berperang.” Beliau pun berkata, “Bagaimana mungkin Islam ini akan berkurang, sementara aku masih hidup?”
Setelah keberhasilan demi keberhasilan yang beliau dapatkan; memadamkan api pemurtadan di jazirah arab dan ancaman disintegrasi sosial, membawa kaum muslimin bersatu di bawah panji Islam, meluaskan wilayah kekuasaan Islam, membukukan Al Quran dan menorehkan prestasi-prestasi yang lainnya, sehingga mengundang decak kagum dan pujian banyak orang, Abu Bakar dengan tawadhu hanya berkata, “Ya Allah, ampunilah aku tentang apa yang tidak mereka ketahui pada diriku. Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka duga tentang diriku”
Rasa tanggungjawab yang besar berbaur dengan rasa takut yang tinggi kepada Allah membuat Umar bin Khathab tidak pernah tidur. Kalau pun ada, yang terjadi adalah beliau tertidur. Siang dan malam mengurusi rakyat dan menunaikan amanah yang berada di pundaknya. Ia periksa kondisi rakyatnya satu persatu, jangan sampai diantara mereka ada yang merasakan kesusahan. Saking khawatirnya dengan kondisi rakyatnya itu, Umar bin Khathab sampai berkata, “Seandainya ada keledai yang mati di pelosok Iraq, tentulah aku akan dimintai pertanggungawaban di hadapan Allah” Di lain waktu beliau berkata, “Bagaimana aku bisa tidur? Kalau aku tidur di siang hari berarti aku telah menyia-nyiakan rakyatku. Dan kalau aku tidak tidur di siang hari berarti aku telah menyia-nyiakan diriku”
Keberanian dan keikhlasan menyatu dalam urat nadi Khalid bin Walid. Beliau berperang dengan berani dan gagah perkasa menghambur ke dalam pelukan maut di tengah-tengah ribuan pasukan balatentara romawi. Kepada jenderal pasukan romawi ia menegaskan, “Sungguh, aku datang kepada kalian dengan suatu pasukan yang mereka lebih mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai kehidupan.” Tak ada ada satupun jengkal dari tubuhnya kecuali ada sayatan pedang dan tusukan tombak. Tapi Khalid yang tak mengenal takut itu pula yang tunduk penuh kepatuhan saat Umar mencopotnya dari jabatan panglima perang dan menyerahkannya kepada Abu Ubaidah, sesaat sebelum terjadinya pertempuran.
Akal mereka mengalahkan emosi. Pengendalian diri mereka sangat menakjubkan. Kecintaan kepada iman mereka mengalahkan segala ambisi pribadi.
Benci Kepada Kekafiran, Kefasikan dan Kedurhakaan
Dalam saat yang sama, rasa cinta itu menerbitkan perasaan benci kepada yang bertentangan dengan prinsip cinta. Karena cinta kepada keimanan, orang-orang yang cerdas itu pun menjadi benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.
Dua hal inilah yang selalu bertarung dalam hati; akal sehat dan hawa nafsu. Akal sehat itulah yang melahirkan cinta keimanan sementara hawa nafsu yang melahirkan kemaksiatan. Apakah yang menjadi dinding pemisah antara keduanya? Jawabannya adalah kesabaran..! Saat dinding kesabaran itu jebol, maka seseorang berpindah dari wilayah akal sehat kepada godaan hawa nafsu.
Kesabaran memberikan kekuatan jiwa untuk mengendalikan diri dalam bereaksi terhadap berbagai situasi yang rumit dan kompleks, seperti rasa jenuh, tergesa-gesa, marah, takut, cemas, harap, godaan nafsu, dan berbagai kecenderungan yang lainnya. Sabar adalah benteng utama dalam melawan godaan syahwat kekuasaan, syahwat kebinatangan, dan angkara murka. Sabar juga menjadi amunisi dalam melakukan ketaatan dan kebajikan, juga dalam meraih cita-cita dan kesuksesan.
Pada kenyataannya, cinta kepada keimanan dan benci kepada kemaksiatan, bukanlah yang mudah. Akal sehat kita kadang kala menjadi lemah dan tumpul di hadapan godaan nafsu syahwat. Pada saat itu, hilanglah kecerdasan. Maka kita pun perlu meminta bantuan dari Allah selalu, untuk membuat kita selalu terjaga dan tidak terlena, dengan membaca doa yang diajarkan oleh Rasulullah ini.