عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَهُنَا –وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسَبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ)رواه مسلم(
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya dan kehormatannya “ (Riwayat Muslim)
Seruan persatuan kerapkali kita dengar dari berbagai elemen bangsa ini. Semua orang ingin bersatu dan menegakkan persatuan. Dan sebagai makhluk sosial, manusia selalu merindukan kebersamaan.
Keindahan dalam kebersamaan itu tidak menafikan keunikan dan perbedaan setiap orang. Seperti sebuah taman bunga, keindahannya terdapat pada beragamnya warna warni bunga dalam taman itu, yang setiap bunga tampil dengan identitasnya yang paling baik, dalam warna dan aroma paling aneh sekalipun.
Persatuan itu penting kita tegakkan dalam berbagai dimensinya; agama, kebangsaan, dan kemanusiaan. Harusnya begitu. Yang terjadi adalah kita masih lebih menikmati persatuan kelompok dan kepentingan, selain itu mereka adalah musuh.
Slogan persatuan dan toleransi hanya berakhir dalam cuap-cuap pernyataan di media sosial. Di lapangan nyata kehidupan, persatuan dan toleransi tampak dalam wujud persekusi, makar, konspirasi, bully, dan lain sebagainya. Kepentingan telah menampakkan cuap-cuap humanis itu dalam bentuk yang lain. Pada akhirnya, menjadi berbeda itu bukan hal yang mudah.
Padahal berbeda itu pasti. Input informasi, kondisi lingkungan, kemampuan daya serap dan daya analisa, dan perbedaan waktu, adalah faktor yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan itu. Tidak ada satupun manusia yang benar-benar sama dalam cara berfikir dan bertindaknya, pada anak kembar siam sekalipun.
Jelas Dalam Prinsip
Penegasan prinsip tentang siapa kita dan apa latar belakang kita, itulah yang membuat orang lain tau bagaimana cara memperlakukan kita, dan kita memperlakukan mereka.
Semangat persatuan itu menjadi kokoh dengan ketegasan sikap dan keyakinan identitas, bukan karena bermuka dua atau bersikap pura-pura.
Seorang yang niatnya semata menyenangkan orang lain, cari perhatian publik, dan pencitraan, maka hanya membuat persatuan retak. Karena ia tidak punya sikap dan hanya akan membingungkan; apakah orang ini kawan atau lawan.
Sama sekali tidak ada ketulusan dan kasih sayang bagi pelaku pencitraan. Sebab yang menyetirnya adalah kepentingan. Maka semua hal yang perlu dilakukan untuk kepentingan itu akan ia lakukan; memperlihatkan kasih sayang, peduli, toleransi, atau mungkin kekerasan dan tindakan fisik. Dan karena kepentingan itu, mudah sekali baginya untuk menjegal kawan seiring, menggunting dalam lipatan.
Seorang yang mudah memujimu tentang sesuatu yang tidak ada pada dirimu karena kepentingannya, maka ia akan mencelamu tentang sesuatu yang tidak ada pada dirimu karena kepentingannya.
Itulah kenyataan hidup.
Kita tidak pernah dituntut untuk ikut-ikutan atau menjadi sama dengan orang lain. Yang diminta adalah menentukan sikap dengan tetap menghormati pilihan orang lain. Apabila seseorang salah, maka tunjukanlah kesalahan itu dan fokus perbaikan pada kesalahannya. Bukan menyerang pribadinya.
***
Berbeda Dengan Ilmu
Musuh yang cerdas jauh lebih baik daripada teman yang bodoh. Itu karena seorang musuh yang cerdas ia tampil dengan identitas yang ia dimiliki, tau tentang bagaimana berbeda. Sementara teman yang bodoh dia hanya ikut-ikutan, dan tanpa sadar bahkan bisa mencelakakan temannya sendiri.
Yang paling buruk adalah ketika diri ditutup oleh kebodohan dan kebencian. Harapan membangun persatuan menguap oleh fanatisme buta dan perasaan bangga. Hasilnya adalah tindakan yang membabibuta, menyingkirkan semua orang yang tidak sepemikiran dengannya dan membahayakan kepentinganya.
Akan lebih buruk lagi bila fanatisme dan kebodohan ini dialami oleh seorang pemimpin. Ia akan mengarahkan alat-alat negara untuk menggebuki orang yang tidak sepaham dengannya, menghancurkan semua orang-orang yang berlawanan pemikirannya. Tidak boleh ada orang lain. Baginya, cara terbaik memenangkan pertempuran, adalah dengan cara menghabisi pesaingnya dengan alasan apapun.
***
Kisah perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menjadi pelajaran yang sangat indah dalam sejarah. Aliran pemikiran rasional yang dikenal dengan nama “Madrasatu Ra’yi” yang berpusat di Iraq memiliki pergeseran yang sangat kuat dengan aliran pemikiran tekstual yang dikenal dengan nama “Madrasatul Hadits”.
Para murid Madrasatul Hadits mengganggap mereka yang berada adalah madrasatur ra’yi terlalu bebas menggunakan akalnya dalam menafsirkan teks teks al quran dan hadits, sementara mereka dari Madrasatur Ra’yi melihat pentingnya memahami hadits dengan logika pikiran, dan tidak setuju dengan sikap madrastul hadits pada beberapa hal.
Perdebatan dan bahkan saling serang antar murid dari kedua madrasah pemikiran ini kerap kali terjadi.
Sampai akhirnya guru besar kedua aliran ini bertemu di Madinah pada suatu musim haji. Tak pelak, perdebatan dan diskusi yang hebat pun terjadi. Imam Malik sampai berkeringat pada saat itu. Setelah debat dan diskusi selesai, Imam Abu Hanifah pun pamit untuk kembali ke Iraq.
Apa komentar Imam Malik tentang beliau? “Wallahi, innahu lafaqiih” Demi Allah, orang itu adalah seorang ahli fiqih. Ketika mendengar pujian ini, Imam Abu Hanifah menjawab komentar itu dengan berkata, “Demi Allah, saya tidak pernah melihat seorang ahli hadits lebih hebat daripada Imam Malik”
Inilah akhlak ulama terdahulu. Mereka berbeda atas dasar ilmu. Ilmu itulah yang menuntun mereka untuk tetap bersama, walupun ada perbedaan dalam beberapa hal.
***
Penuh Cinta
Cinta adalah pengikat hal-hal yang berserak menjadi padu. Cintalah yang membentukan tautan hati menjadi kuat dan barisan itu menjadi rapi.
Sayang sekali, saat para musuh bersatu meredam segala ego atas nama cinta kepada misi yang mereka perjuangkan, orang-orang baik bertengkar karena persoalan yang remeh. Persatuan retak dan mereka pun mampu dikalahkan.
Ketidakmampuan melepaskan diri dari egoisme dan tindakan esktrem membuat barisan kaum muslimin retak, menyebabkan mereka kehilangan persatuan yang merupakan sumber kekuatan dan kemuliaan. Keikhlasan pun hilang, amal-amal ukhrawi menjadi sia-sia, dan merasa sulit untuk mencapai ridha Allah Subhaanahu wa Ta’alaa.
Yang menjadi penawarnya adalah rasa cinta karena Allah, cinta kepada sesama umat Rasulullah, dan juga cinta kepada Islam. Inilah yang mempertaukan hari pada sahabat dan ulama-ulama terdahulu.
Kita memang berbeda, tapi kita tetap saling mencintai karena Allah. Kita berjuang bukan kepentingan kita, tetapi demi agama, bangsa, dan tanah air tercinta.
Tiga hal ini; prinsip, ilmu, dan cinta menjadi solusi paling indah atas segala perbedaan-perbedaan itu. Dalam lautan ilmu dan cinta itulah, perbedaan menjadi lebur, dari aku berubah menjadi kita, dari tercerai berai menjadi kuat bersama.