
Bukan hanya sekali-dua kali kali polisi datang ke pondok kami. Berkali-kali…!
Ada yang bahkan lengkap dengan pasukan rider, mobil komando dan patroli. Sampai kadang-kadang membuat sebagian guru dan masyarakat yang melihat menjadi takut, menyangka penggerebekan atau yang lain.
Padahal sebenarnya tidak.
Tujuan pak polisi datang adalah untuk bersilaturrahim dengan keluarga besar PPTQ Ibnu Abbas Klaten, dan terutama dalam hal ini dengan Direktur Pondok, Ust. Muinudinillah Basri. Biasanya setelah pelantikan Kapolres yang baru
Dalam setiap pertemuan itu, Alhamdulillah saya berkesempatan untuk mendampingi dan ikut menyimak pembicaraan.
Salah satunya adalah pertemuan beberapa waktu yang lalu. Saat seorang perwira senior polisi yang datang untuk menyambung silaturrahim.
“Maaf Ustadz, kadang-kadang politik itu memisahkan kita, membuat hubungan silaturrahim terputus. Untuk kepentingan politik, semua dilibatkan. Sehingga kadang kita menjadi kabur, sebenarnya masalah yang terjadi ini permasalahan agama, budaya, sosial, ataukah semua itu hanya menjadi komoditas politik semata” kata sang perwira.
“Jadi memang sebaiknya tidak usah ada politik” lanjutnya sambil tersenyum
“Pelaku politik itu kan ada dua. Yaitu Politisi Sejati dan Pekerja Politik” kata Ust Muin sejurus kemudian.
Pak Polisi menegakkan posisi duduknya. “Catat, mas!” katanya kepada ajudan yang ada di sampingnya
“Politisi sejati itu tujuan utamanya adalah murni mengatur masyarakat, mendekatkan mereka kepada kebaikan, dan menjauhkan mereka dari keburukan. Sementara pekerja politik mereka punya kepentingan pribadi, lalu memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya dirinya dan mewujudkan kepentingannya”
“Pekerja politik ini yang membuat banyak masalah di tengah masyarakat” tegas Ust Muin.
Pak Polisi manggut-manggut dalam diamnya.
“Dalam sebuah hadits disebutkan, akan datang tahun-tahun yang menipu. Orang-orang jujur dianggap dusta dan para pendusta dianggap jujur. Orang-orang amanah dianggap khianat, para pengkhianat dianggap amanah” kata Ust Muin
“Rasanya itu yang sedang terjadi sekarang” kata pak polisi
“Benar pak, itu sedang terjadi”

Ust. Muin kemudian melanjutkan:
“Dulu pernah ada seorang polisi juga pernah datang dan minta nasehat kepada saya. Saya sampaikan, Pak, takutlah kepada Allah dalam menaati atasan, dan jangan takut kepada atasan dalam menaati Allah. Kalau Anda takut kepada Allah, maka Allah yang akan membelamu dari atasanmu. Tetapi bila engkau lebih takut kepada atasan, maka tidak seorang pun yang dapat membelamu. Waktunya tidak lama, ketika Allah memindahmu dari istanamu yang luas, ke dalam liang kuburanmu yang sempit”
“Kalau pimpinannya zalim bagaimana, Ustadz?” tanya polisi
“Ya di situlah ujiannya. Ketika pimpinan menyuruh menembak, berpikirlah ini dalam rangka takut kepada Allah atau dalam kemaksiatan”
Kita semua akan mati dan kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkan amal kita masing-masing. Di dunia ini saja, ada yang seakan-akan berkuasa, seakan-akan punya jabatan yang tinggi. Tapi di hadapan Allah kita semua sama, tidak punya apa-apa.
“Intinya adalah istiqamah. Kita tetep terus mengarahkan umat ini dari kebaikan, menjauhkan mereka dari keburukan, taat kepada Allah, dan ingat kepada hari akhirat” pungkas Ust Muin.
Bagi saya pribadi, untaian nasehat guru kami ini memberikan kekuatan dan ketenangan hati. Dan menunjukkan tentang tugas sebenarnya seorang da’I, yaitu istiqamah mengingatkan umat untuk selalu taat kepada Allah dan ingat kepada hari akhirat.
“Ustadz, besok-besok saya minta anak buah saya para polisi ketemu ustadz ya. Supaya bisa mendapatkan nasehat seperti ini juga” kata bapak perwira.