Cinta Agama Cinta Tanah Air

Bila Pancasila adalah pilihan nilai dan falsafah bangsa Indonesia, maka agama adalah kumpulan nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia, termasuk di dalamnya nilai nilai yang terdapat dalam Pancasila.

Bila negara adalah institusi resmi yang berperan membangun “badannya”, maka agama adalah perangkat  kehidupan untuk membangun “jiwanya.” Kedua-duanya harus bersinergi untuk menuju Indonesia Raya.

Bila negara adalah kampung halaman dan ibu pertiwi yang harus dibela dengan jiwa dan raga, maka agama adalah keyakinan yang juga harus dijaga dan dibela dengan sepenuh jiwa raga. Itulah makna perjuangan yang dapat saya tangkap dari peringatan hari pahlawan 10 November 2017.

Rasa patriotisme para pahlawan yang berjuang perang dahsyat di Surabaya melawan juara perang dunia dua, yaitu Inggris, pada tanggal 10 November 1945, berakhir dengan kekalahan Inggris dan membuat mereka harus hengkang dari bumi Indonesia. Apakah rasa patriotisme bela negara itu berdiri sendiri? Jawabannya tidak. Semangat patriot itu menjadi semakin kuat ketika ada perintah wajib jihad dari para ulama se jawa dan berharap mati syahid yang menjadi kemulian dari seorang muslim.

Artinya, seorang dapat menjadi sangat teguh dengan ajaran agama dimana pada saat yang sama ia bisa menjadi seorang sangat nasionalis. Sebab bagi seorang muslim Islam itu adalah cara pandang bagaimana ia hidup, termasuk hidup dalam berbangsa dan bernegara

Paling tidak ada tiga bukti realitas bahwa ruh keislaman semakin menguatkan rasa nasionalisme dalam kehidupan bangsa indonesia, yaitu: sejarah bangsa, fakta sosial budaya, dan nilai universal Islam.

Nasionalisme Islam

Sejak abad ke 16, kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam melalui pranata-pranata sosial keagamaan dan budaya yang diciptakan oleh komunitas Islam Nusantara. Kesadaran keagamaan ini yang memunculkan nasionalisme islam, yang berbeda dengan nasionalisme sekuler yang lepas dari agama.

Ketika kolonialisme datang dan menguasai persada nusantara, jiwa keislaman ini yang menggerakkan sikap penentangan terhadap penjajah. Kesadaran nasionalisme Umat Islam pada fase awal mengambil bentuk yang beragam, mulai dari perang fisik melawan kolonialisme, sikap anti kapitalisme, perjuangan mengembangkan identitas yang berbeda dari bangsa asing, serta peningkatan kualitas pendidikan, dan ekonomi masyarakat pribumi.

Hal ini bisa kita lihat dari konfrontasi langsung dengan pihak kolonialisme yang digerakkan oleh para raja, kiai, ulama, mursyid tarekat, serta santri-santri mereka.

Sebutlah diantaranya; Perang Ternate (1635-1646), Perang Makassar (1660-1669), Perang Trunojoyo (1675-1679), Perang Banten (1680-1682), dan perang antikolonial sejak akhir abad ke-18, ketika VOC bangkrut dan menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada pemerintah Hindia-Belanda. Pertempuran paling sengit dan kerugian besar bagi pihak Belanda adalah Perang Cirebon (1802-1806), Perang Palembang (1812-1816), Perang Paderi (1821-1838), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1859-1862), dan Perang Aceh (1872-1908).

Semua ini menjadi bukti bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme. Justru melalui rahim Islam, nasionalisme di Indonesia dapat tumbuh subur.

Dalam pergerakan modern menjelang kemerdekaan, paling tidak ada 3 institusi penting Islam yang paling menonjol, yaitu: Nahdhatul Ulama (NU) yang bergerak dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan pesantren, Muhammadiyah yang bergerak bidang sosial dan pendidikan, dan Syarekat Islam (SI) yang bergerak di bidang ekonomi dan politik, Dibandingkan dengan organisasi kedaerahan yang bersifat etnik, termasuk Budi Utomo (basis kepentingan priyayi Jawa), gerakan SI justru bersifat nasional.

SI telah berhasil menarik para pedagang, para pekerja di kota-kota, para kiai, dan bahkan sejumlah priyayi serta kaum tani dalam gerakan politik massal pertama di zaman penjajahan. Organisasi berskala nasional dan modern ini menghendaki pemerintahan sendiri oleh rakyat dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari penjajah. Hal ini menjadi bukti bahwa Islam berfungsi sebagai faktor integrasi, bahkan lebih jauh lagi menjadi akar dari nasionalisme dan pembentukan negara-bangsa di Indonesia.

Islam dan Sosial Budaya

Fakta sosial menunjukkan bahwa Islam adalah penduduk mayoritas di negeri ini, yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Meski negara Indonesia tidak berdasarkan syariat Islam, namun para pendiri bangsa ini sepakat bahwa Islam menjadi agen pemersatu, faktor integrasi bangsa, sekaligus menjadi spirit  dan jiwa bangsa. Hal ini terbukti dan terpatri dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Atas berkat Rahmat Allah” dan termaktub dalam sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang memperlihatkan bahwa keislaman Indonesia berdasarkan prinsip tauhid.

Secara kultur budaya, ajaran Islam telah menjadi sebuah hal yang tak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Beberapa provinsi di Indonesia bahkan menjadi ajaran Islam sebagai pondasi dari undang-undang adat setempat.

Di Aceh, misalnya, ada syiar, “Hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut” (Hukum Islam dan adat tidak mungkin dipisahkan, sebab hubungannya sangat kuat seperti hubungan benda dengan sifatnya)

Di Minangkabau, ada syiar, “Adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mengato adat memakai” (Adat dan syariat saling mendukung, syariat memerintah adat melaksanakan).

Sementara di Gorontalo, tempat saya lahir dan tumbuh besar, kebudayaan Islam telah mengakar dalam kehidupan masyarakat sejak zaman yang silam. Syiar yang terkenal hingga saat ini adalah “Aadati hula-hula’a to Syara’a. Syara’a hula-hula’a to Kitabullah” (Adat bersendikan syariat. Syariat bersendikan Kitabullah).

A.S. Niode dalam buku “Gorontalo; Perubahan Nilai-Nilai Budaya dan Pranata Sosial” menerangkan bahwa sejak tahun 1523, ketika Sultan Amai menjadi raja, kebudayaan Islam telah  mempengaruhi segala sisi kehidupan di Gorontalo. Tahun 1525, berdirilah masjid pertama di Gorontalo yaitu Mesjid Hunto. Putra Sultan Amai, yaitu Matolodulakiki, saat naik menjadi sultan, menetapkan bahwa Islam adalah agama dari Kesultanan Gorontalo dan setiap warga wajib memeluknya. Adapun syiar  “Aadati hula-hula’a to Syara’a. Syara’a hula-hula’a to Kitabullah” telah ditetapkan oleh Sultan Eyato untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat sejak tahun 1673.

Nilai Universal Islam

Nilai universal yang dibawa oleh Islam berupa amar makruf nafi munkar tidak hanya sekedar upaya memberantas prostitusi, miras, dan judi, atau mengajak ke shalat, infak, sedekah, puasa, umrah, dan haji, tetapi juga upaya memberantas korupsi dan mafia peradilan, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, membela nasib buruh, tani, dan nelayan, menegakkan HAM, pembangunan ekonomi masyarakat, meningkatkan kualitas pendidikan, melestarikan lingkungan dan seterusnya.

Dengan melihat tiga fakta tersebut, kita bisa melihat bahwa Islam itu membawa masyarakat kepada nasionalis substantif, bukan nasionalis pragmatif. Itulah yang membuat kita semakin cinta kepada agama Islam, sekaligus cinta kepada tanah air Indonesia.

Leave A Reply

Navigate